Jumat, 18 November 2011

Mengenal dan Memahami Desa.

Mengenal dan Memahami Desa.     

 

Masyarakat

Dalam Bahasa Inggris disebut Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk–bentuk akhiran  hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur–unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan

Masyarakat Pedesaan (masyarakat tradisional)

Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.

 Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat di tempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.  Sedang menurut Paul H. Landis: Desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut:

a.       Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.

b.      Ada pertalian perasaan yang sama  tentang kesukaan terhadap kebiasaan.

c.      Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.

Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris, Tradition artinya Adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara, dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain di antara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat, kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.

Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas.

Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh aktor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut: bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananya pun lebih untuk pembangunan fisik. Bahkan, di Sumenep (Madura), karena kuatnya peran kepala desa (di sana disebut klebun) dalam mengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK sering dipelesetkan menjadi proyek para klebun.

Menyimak realitas di atas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia.

 Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep: ”Membangun desa, menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan, tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.

Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik)

 Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mebngenal ciri-ciri sebagai berikut:

a.       Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan  tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain  dan menolongnya tanpa pamrih.

b.      Orientasi kolektif  sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.

c.       Partikularisme  pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja. (lawannya Universalisme).

d.      Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan. (lawanya prestasi).

e.       Kekabaran (diffuseness), Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.

Masyarakat Perkotaan

Pengertian KotaSeperti halnya desa, kota juga mempunyai pengertian yang bermacam-macam seperti pendapat beberapa ahli berikut ini:

I.        WirthKota adalah suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.

II.     Max WeberKota menurutnya, apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.

III.   Dwigth SandersonKota ialah tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih.

Dari beberapa pendapat secara umum dapat dikatakan mempunyani ciri-ciri mendasar yang sama. Pengertian kota dapat dikenakan pada daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam struktur pemerintahan.
Menurut konsep Sosiologik sebagian Jakarta dapat disebut  Kota, karena memang gaya hidupnya yang cenderung bersifat individualistik. Marilah sekarang kita meminjam lagi teori Talcott Parsons mengenai tipe masyarakat kota yang diantaranya mempunyai ciri-ciri:
a. Netral Afektif: Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkan Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukkan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya.
b.Orientasi Diri: Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya dikota tetangga itu bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu setiap orang di kota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka cenderung untuk individualistik.
c.  Universalisme: Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk Universalisme.
d.Prestasi: Mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang itu diterima  berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya.
e. Heterogenitas: Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat Heterogen, artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya. 
     Ciri-ciri masyarakat Perkotaan 
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu:  Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung ke arah keduniaan saja. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme). Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
f.        Perubahan-perubahan tampak nyata di kota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
D.    Perbedaan antara desa dan kota
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masyarakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan "berlawanan" pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:  
Masyarakat Pedesaan
Masyarakat Kota

Perilaku homogen
Perilaku heterogen

Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan

Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status
Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi

Isolasi sosial, sehingga statik
Mobilitas sosial, sehingga dinamik

Kesatuan dan keutuhan kultural
Kebauran dan diversifikasi kultural

Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekular

Kolektivisme
Individualisme

Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja.
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan  sebagai petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan-perbedaan yang ada mudah-mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagi masyarakat pedeasaan atau masyarakat perkotaan.
Ciri ciri tersebut antara lain:
 a)      Jumlah dan kepadatan penduduk, b)      Lingkungan hidup, c)      Mata pencaharian, d)     Corak kehidupan social, e)      Stratifiksi social, f)       Mobilitas social, g)      Pola interaksi social, h)      Solidaritas social, i)        Kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional
.     Hubungan Desa-kota, hubungan pedesaan-perkotaan.
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar di antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan pangan seperti beras sayur mayur, daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja-pekerja musiman. Pada saat musim tanam, mereka sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.
Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.
Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti: (i) Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam; (ii) Invasi kota, pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan; (iii) Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi; (iv) kooperasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.
Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah:
1)      Urbanisasi dan Urbanisme
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota  yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).
2)      Sebab-sebab Urbanisasi
1.      Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya (Push factors).
2.      Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap di kota (pull factors).
·         Hal–hal yang termasuk push factor antara lain:
a.      Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian.
b.      Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.
c.       Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.
d.      Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.
e.       Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.
·         Hal–hal yang termasuk pull factor antara lain:
a.      Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa di kota  banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan.
b.      Di kota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.
c.       Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak di kota dan lebih mudah didapat.
d.      Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
e.       Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969: 124-125 ).

GAGASAN PEMBAHARUAN DESA:

GAGASAN PEMBAHARUAN DESA:
PEMBARUAN DESA SEBAGAI WUJUD KEBERPIHAKAN PEMERINTAH TERHADAP KESEJAHTERAAN RAKYAT

Pengantar.
Lahirnya Undang-undang No 32 Tahun 2004 sedikit banyak memperngaruhi lajunya Pembaruan Desa. Pondasi pembaruan desa yang digalang berdasarkan Undang-undang No 22 tahun 1999 harus mandeg dulu, karena ada peerbedaan yang sangat mendasar antara Undang-undang No 32 Tahun 2004 dengan Undang-undang No 22 Tahun 1999. Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999 membuka semangat baru bagi masyarakat desa untuk menggeliat menyadarkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyangga tegaknya suatu pemerintahan/Negara.
Sebelum lahirnya undang-undang No. 22 tahun 1999, nasib desa hanya diposisikan sebagai sasaran tembak sebuah kebijakan/aturan. Padahal pemrintah sudah seharuanya memberikan kesempatan kepada rakyat melalui institusi pemrintah desa sebagai institusi pemerintah yangpaling bawah untuk menentukan pengaturan otonomi desa sesuai dengan landasan yuridis yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Otonomi daerah harus dijabarkan secara luas dan diimplementasikan kepada otonomi desa. Dengan otonomi desa itulah makna pembaruan desa akan terealisir, pembaruan desa bias terwujud ketika paradigma lama diubah dengan tatanan baru. Pembaruan desa dikatakan bisa terealisir jka pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah sampai dengan pemerintah pusat bermuara pada kepentingan dan keberpihakannya kepada masyarakat (rakyat). Manifestasi keberpihakan pemerintah kepada masyarakat manakala pemerintah benar-benar mengoptimalkan peran lembaga pemerintahan desa dalam pembangunan desa.
Keberadaan desa merupakan asset dan pondasi riil sebagai pijakan dasar dari kekuatan Negara/Pemerintah, karena desa merupakan elemen paling awal sebagai ukuran/parameter terwujudnya kestabilan Negara di semua bidang. Otonomi desa harus terejowantahkan (interpretasikan) ke tingkat desa. Otonomi harus dimaknai penyerahan kewenangan-kewenangan yang semestinya menjadi hak desa oleh pemerintah. Sedangkan pembangunan desa dimaknai sebagai landasan pembangunan ditingkat selanjutnya, kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah harus berpihak kepada kesejahteraan masyarakat.
 
Ada beberapa fenomena untuk menandai keberpihakan pemerintah kepada pembangunan yang berpihak kepada masyarakat: 1) Menempatkan pembangunan desa sebagai wahana terciptanya kesejahteraan rakyat. 2) Memberdayakan pemerintah desa sebagai manifestasi Pembaruan Desa (otonomi desa). 3) Memberikan kepercayaan kepada rakyat melalui lembaga pemerintahan desa. 4) Menempatkan rakyat melalui lembaga desa sebagai himpunan kekukatan terciptanya demokrasi.
 
Desa semestinya ditempatkan pada tempat pijakan dasar untuk terwujudnya kestabilan Negara, ini mempunyai makna penting karena secara riil keberadaan Negara kita ini (Indonesia) tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan desa. Membangun Negara akan lebih efektif dimulai dari elemen yang paling dasar sebagai pondasi bangunan yang lebih makro. Pembangunan desa yang sekaligus merupakan implementasi keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat secara makro, merupakan cara yang efektif untuk melihat atau sebagai parameter keberhasilan Pembangunan Nasional.
Substansi pembaruan desa salah satunya pembangunan desa dalam arti makro. Pembangunan desa bukan berarti pembangunan secara fisik melainkan pembangunan disemua bidang yakni mulai dari membangunan SDM, Kultur, Sosial-Ekonomi, Politik dan membangun semua bidang yang berkitan dengan pengkristalan semua keragaman rakyat desa. Mensikapi berlakunya Undang-undang No 32 Tahun 2004 yang sampai saat ini PP yang mengatur/menjabarkan aplikasi pemerintahan daerah lebih mengerucut tentang pemerintahan desa belum muncul sehingga menimbulkan keambiguitasan pelaksanaan aturan ditingkat pemerintahan daerah (termasuk ) pemerintahan desa. Impelementasi demokrasi yang digalang dengan berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 menjadi tumpul. Contoh persoalan Badan Perwakilan Desa merupakan lembaga pemerintahan desa yang benar-benar merupakan representative rakyat kehilangan hak-haknya untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan desa. Padahal Badan Perwakilan Desa baik cara pemilihan lembaga tersebut maupun tugas pokok dan fungsinya benar-benar mencerminkan aktualisasi demokrasi yang sesungguhnya.
Demikian juga lurah yang semestinya setiap tahun melaporkan hasil kerjanya kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa tetapi menurut UU No. 32 Tahun 2004 lurah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Bupati melalui camat. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 ini merupakan undang-undang yang mengatur pemerintahan kembali ke sentral (resentralisasi), padahal pembaruan desa ini akan terwujud dengan cepat ketika sistem desenrtalisasi dilaksanakan dengan konsisten. Dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 yang belum disertai Peraturan Pemerintah, juga membuat ketumpulan pemerintah derah untuk menindak lanjuti dengan peraturan daerah. Peraturan daerah yang seharusnya menjadi landasan yuridis pembuatan peraturan desa. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah daerah sering berbeturan dengan realita, disisi lain desa harus segera membuat regulasi wajib setiap tahun dan juga harus sudah menempatkan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai konsideran, namun pengaturan landasan operasional belum ada. Dari realita kondisi ini membuat kegamangan ditingkat birokrasi paling bawah. Rakyat sangat berharap Peraturan Pemerintah yang memberikan arah operasional pelaksanaan pemerintah daerah/pemerintah desa segera terwujud sebagai landasan untuk menindak lanjuti/mempertegas pelaksanaan pembaruan desa. Peran lembaga pemerintahan desa baik secara formal maupun informal mempunyai peran yang sangat penting terhadap pelaksanaan pembaruan desa, lembaga pemerintahan desa yang terdiri dari elemen masyarakat merupakan motor penggerak terciptanya pembaruan desa.
Keberadaan lembaga pemerintahan desa harus diberdayakan, diberi kewenangan penuh untuk melaksanakan apa yang telah diprogramkan. Kewajiban pemerintah daerah maupun pusat merealisir Alokasi Dana Ke Desa sesuai dengan jatah alokasi masing-masing desa. Lembaga pemerintahan desa yang secara representative cerminan himpunan rakyat perlu diberdayakan dalam memanifestasikan tatanan demokratis sebagai upaya pencapaian kesejahteraan rakyat melalui nilai-nilai pembaruan dan pembangunan desa. Ada dua hal yang harus diingat dalam pembaruan desa:
  1. Payung hukum yang diterbitkan oleh pemerintah, baik peraturan daerah maupun undang-undang.
  2. Kesungguhan pemerintah daerah maupun pusat dalam mewujudkan pembaruan desa. Kita mempunyai keyakinan membangun Negara akan lebih efektif jika dimulai dari pembangunan desa sebagai tataran elemen wilayah Negara yang palilng besar.


MARI MBANGUN NDESO



TATA HUBUNGAN DESA DAN SUPRA DESA
Pointers Makalah Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
Dalam Acara Sarasehan Nasional Dalam Rangka Mendapatkan Masukan Mengenai Desa di Masa Depan
Diselenggarakan oleh Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)
Hotel Bumi Karsa Bidakara, 4 Juli 2006

  1. Agar terdapat kesamaan persepsi mengenai tata hubungan desa dan supra desa tentunya harus ada kejelasan apa yang dimaksud dengan "supra desa". Kalau kita mengacu pada definisi dari segi semantik dan teoritis tentunya pengertian mengenai "supra desa" akan beragam. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kita samakan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan "supra desa" adalah institusi-institusi yang berada "diatas" Desa yang dalam hal ini adalah Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah.
  2. Untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai tata hubungan desa dengan "supra desa", pada kesempatan ini perlu kita lihat dari aspek historis berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa. Pengaturan mengenai desa di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial. Pada zaman penjajahan Belanda terdapat peraturan perundang-undangan mengenai desa yaitu Inlandshe Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Pengaturan ini bertahan cukup lama dan baru diganti dengan terbitnya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Terdapat kesamaan antara pengaturan Inlandshe Gemeente Ordonantie dan Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten dengan UU No. 19 Tahun 1965 dalam hal memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen) memiliki hak ada istiadat dan asal usul. Dengan demikian berdasarkan peraturan perundang-undangan ini nama, jenis, dan bentuk desa sifatnya tidak seragam.
  3. Pada masa pemerintahan Orde Baru UU, kembali peraturan perundang-undangan mengenai desa mengalami perubahan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berbeda dengan pengaturan berdasarkan IGO dan UU No. 16 Tahun 1965, menurut UU 5 Tahun 1979, pengaturan yang tidak menyeragamkan pemerintahan desa kadang-kadang merupakan hambatan untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itulah secara tegas dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintah.
  4. Dari pengertian ini jelas bahwa secara struktural dengan ditempatkannya desa sebagai organisasi pemerintahan langsung di bawah camat menunjukkan bahwa hubungan antar desa dengan supra desa bersifat hierarkis sampai ke tingkat Pusat. Hal ini. dikarenakan posisi Camat sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi atau merupakan unsur Pemerintah Pusat yang ada di daerah. Karena pola hubungan yang bersifat hierarkis maka seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa dibuat oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan sama secara nasional.
  5. Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian, otonomi yang dimiliki desa adalah Otonomi Asli, yaitu otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan, maupun bentuk-bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-prinsip "Kebhinekaan" itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat. Sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal pembangunan desa.
  6. Dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa. Menurut ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa. Pemerintah Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Perwakilan Desa sebagai unsur Legislatif, yang tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 1979. Dengan konsep pemerintahan desa yang seperti ini maka dalam pelaksanaan tugasnya Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD.
  7. Terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga merubah tata hubungan desa dengan supra desa sebagaimana diatur oleh UU No. 5 Tahun 1979. Perubahan tata hubungan tersebut terdapat dalam beberapa hal sebagai berikut: a) Terjadi reposisi camat dalam sistem pemerintahan di kabupaten/kota. Apabila sebelumnya camat merupakan kepala wilayah, di dalam UU No. 22 Tahun 1999 posisi camat merupakan perangkat daerah. Pengaturan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tidak memberikan pengaturan secara tegas kewenangan camat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. b) Dengan pertanggungjawaban kepala desa kepada BPD maka kepala desa tidak lagi bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Bupati Kepala Daerah Tingkat II sebagaimana diatur dengan UU No. 5 Tahun 1979.c) Desa dapat melaksanakan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Hal ini tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979.
  8. Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;c) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
  9. Perubahan mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun dengan hubungannya dengan supra desa. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan di dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).
  10. Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, Camat diberikan peranan yang tegas dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Menurut ketentuan dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a camat memiliki kewenangan untuk membina penyelenggaraan pemerintahan desa. Yang dimaksud dengan membina pada ketentuan ini adalah dalam bentuk fasilitasi pembuatan Peraturan Desa dan terwujudnya administrasi tata pemerintahan desa yang baik.