Jumat, 18 November 2011

TATA HUBUNGAN DESA DENGAN SUPRA DESA DALAM NKRI

TATA HUBUNGAN DESA DENGAN SUPRA DESA DALAM NKRI
Gagasan: Ibnu Tricahyo


1. Kisi-kisi dari judul di atas yang ingin dikembangkan dalam diskusi ini menyangkut: pertama, bagaimana seharusnya pengaturan hukum mengenai kedudukan desa dalam bingkai NKRI, khususnya dalam konteks otonomi daerah dan otonomi desa. Kedua, bagaimana pula hubungan desa dengan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, (yaitu Kabupaten – Propinsi dan Pemerintah Pusat). Gambaran saat ini dan sebaiknya yang akan datang, yang menyangkut berbagai aspek seperti politik dan tata kepemerintahan, sosial dan ekonomi.
2. Bingkai NKRI Pasal 1 ayat (1) UUD sudah tidak perlu diperdebatkan dan apalagi ditakutkan dalam membahas berbagai persoalan bangsa lebih-lebih dibidang ketatanegaraan khususnya yang menyangkut hubungan pemerintah dan daerah. Pasal 18 ayat (5) UUD, telah jelas mengatur dan tidak lagi multi tafsir bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan”. Istilah otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, prinsip dasarnya adalah kekuasaan asal atau sisa (residual power) berada di daerah. Secara teoritik prinsip kekuasaan asal ada di daerah (negara bagian) adalah prinsip yang lazim dikenal dalam lingkungan negara federalistik. Namun kita tidak perlu ungkit-ungkit kearah federalistik, karena akan menimbulkan ketegangan dan ketakutan. Residual power merupakan model yang konstitusional. Akan lebih arif kalau energi kita gunakan untuk mengimplementasikan Pasal 18 ayat (5) itu dengan membentuk perangkat hukum yang konsisten melaksanakan ketentuan UUD. Lebih-lebih kalau kita mau membaca kembali naskah persiapan UUD, pilihan bentuk NKRI tidak pernah bermaksud mengambil alih hak-hak kedaerahan atau dengan kata lain penyusun UUD 1945 tidak pernah mencita-citakan Indonesia menjadi negara kesatuan yang sentralistik. UUD hasil amandemen sudah tidak remang-remang lagi seperti naskah aslinya yang menyebutkan “memandang dan mengingati hak-hak asa- usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Selama kita bertatanegara kita juga telah mempraktekkan otonomi dengan tidak seragam, misalnya pengaturan Daerah Istimewa (Yogyakarta dan dulu Aceh), DKI (Jakarta), Otonomi Khusus (Papua dan Aceh), Pengelolaan Otorita Batam. Selama ini tidak menjadi persoalan, dan bisa berjalan dengan baik. Jadi beraneka model otonomi bukan sesuatu yang ahistori. Daerah-daerah lain yang pernah menjadi diskursus untuk model otonomi khusus yang lain misalnya Riau, Kaltim, dan Bali perlu dilanjutkan dengan rumusan yang lebih kongkrit. Sejarah menunjukkan dengan pengaturan yang pluralistik akan semakin memperkokoh keutuhan, namun sebaliknya tarikan sentralistik yang dominan akan membuat ketidak adilan dan ketimpangan yang berbuah ketidak puasan daerah, bibit sparatisme dan berujung tuntutan melepaskan diri.
3. Undang-undang yang mengatur desa telah empat kali mengalami perubahan. Setiap undang-undang memiliki model sendiri-sendiri, dan tidak pernah konsisten kemana arah pengaturan desa. Ini disebabkan sistem pembentukan perundang-undangan mengenai desa pada setiap level pemerintahan didominasi kemauan pemegang kekuasaan yang tidak memiliki mekanisme menjangkau pelibatan pemerintahan
1
desa apalagi menyerap aspirasi masyarakatnya. Akibatnya desa menjadi wujud kemauan pusat dan kehilangan karakteristiknya.
4. Mengatur desa, sebagaimana institusi-institusi negara dan pemerintahan yang lain, harus dimulai dari sisi ketatanegaraan, dengan mengajukan pertanyaan diletakkan dimana kedudukan desa dalam struktur ketatanegaraan. Desa menjadi bagian dari aspek ketatanegaraan karena desa merupakan satuan pemerintahan otonom. Desa bukan satuan pemerintahan administrasi belaka yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan atau dibentuk kembali bila diperlukan. Oleh sebab itu letak kedudukan desa akan berimplikasi terhadap tupoksi, kewenangan, keuangan, pengawasan, pertanggung jawaban, serta hubungan dengan satuan pemerintahan yang lain. Secara universal satuan pemerintahan otonom lahir, dibentuk, dan berhubungan langsung dengan negara (state). Bagi Indonesia satuan pemerintahan otonom lahir (diadakan) karena keperluan menampung kebhinekaan, sebagai wujud pemencaran kekuasaan sebagai negara hukum, penyelenggaraan demokratisasi, dan mempercepat kesejahteraan rakyat.
5. Namun setiap undang-undang yang mengatur desa memperlakukan kedudukan desa yang berbeda-beda. a) di bawah UU No. 19/65 desa ditempatkan sebagai Daerah Tingkat III dengan tata dan sebutan Desa Praja. Namun ini tidak pernah terwujud karena tidak dikehendaki pemerintah Orde Baru. b) melalui UU No. 5/1979 pemerinah Orde Baru menempatkan desa berkedudukan langsung di bawah Camat, dimana Camat merupakan Kepala Wilayah yang menjalankan satuan pemerintah vertikal (dekonsentrasi). c) jatuhnya Orde Baru, dibentuk UU No. 22/1999. Melalui undang-undang ini desa diatur dalam satu undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Desa merupakan subsistem dari pemerintahan yang pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada daerah kabupaten/kota dengan membentuk Perda. Tanpa ada penjelasan apa yang dimaksud subsistem. d) terakhir diatur dalam No. UU 32/2004 yang kembali menempatkan desa dalam satu undang-undang tentang pemerintahan daerah. Desa dibawah undang-undang ini yang akan didalami lebih lanjut.
6. UU No. 32/2004 Pasal 200 menyebutkan “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa”. Istilah pemerintahan daerah adalah menunjuk penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Dengan kata lain “pemerintahan daerah” adalah pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Dengan demikian “dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa” mengandung maksud desa dibentuk/lahir dan merupakan bagian “inheren” dari pemerintah kabupaten/kota, namun otonom. Dengan demikian desa berkedudukan di dalam “kerumah tanggaan” daerah kabupaten/kota. Konstruksi ini membingungkan, kabupaten/kota sebagai satuan pemerintahan otonom yang melahirkan dan membentuk satuan pemerintahan otonom yang lain. Bandingkan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD yang mengatur pembagian daerah sebagai satuan pemerintahan otonom, menyebutkan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota….” Istilah dibagi atas menunjukkan bahwa antara pemerintah pusat dan daerah merupakan hirarki dan bersifat vertikal. Karena itu undang-undang menentukan gubernur sekaligus sebagai perangkat pemerintah yang mengawasi daerah. Kemudian istilah daerah propinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota menunjukkan pembagian pada daerah besar dan daerah kecil. Pengertian daerah adalah merujuk pada kesatuan masyarakat hukum, dimana masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang menurut Pasal 18 ayat (2) berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan pembantuan. Dengan pengaturan seperti ini maka daerah diluar struktur pusat, dan daerah kota/kabupaten diluar struktur pemerintah
2
propinsi. Namun semuanya bersifat hirarkis tidak horisontal. Jadi, sangat berbeda dengan model pengaturan Kabupaten/kota dengan desa yang bersifat “inheren”. Artinya UU 32/2004 mengatur hubungan antara kabupaten/kota - desa inkonsistensi dengan konstitusi yang mengatur hubungan pusat-propinsi-kabupaten/kota. Ketidak konsistenan ini mengacaukan sistem pelembagaan otonomi yang dianut.
7. Akibat dari pengaturan desa yang “inheren” dalam pemerintahan kabupaten/kota menjadikan desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah kabupaten/kota. Kalau tidak terjaga, dalam kapasitas tertentu desa akan berubah menjadi satuan pemerintah adminstrasi. Dengan kata lain menjadi kaki tangan administrasi yang melayani kabupaten/kota. Esensi otononomi desa menjadi hilang. Contoh yang bisa dikemukakan hubungan kabupaten/kota dan desa yang tercermin dalam pembentukan Perda yang berkaitan dengan desa. Tidak ada ruang partisipasi pemerintah desa atau masyarakat desa yang cukup. Seringkali partisipasi diwujudkan dalam bentuk sosialisasi bila Perda itu sudah selesai. Karena minimnya partisipasi kadang kala substansial perda tidak responsif dan tidak akomodatif terhadap kepentingan desa. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena UU 32/2004 memberikan basis otonomi kepada kabupaten/kota, dengan memberikan kewenangan yang besar. Sementara itu posisi desa terkooptasi dalam kebijakan kabupaten/kota yang sentralistik. Untuk mempercepat proses “inheren” UU No. 32/2004 mengatur desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan, sekretaris desa akan diisi dari pegawai negeri sipil, dan sumber keuangan desa terbesar sangat tergantung kepada dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota. Kekhawatirannya, sistem ini akan melahirkan otoritarianisme baru di tingkat lokal.
8. Untuk menyongsong masa depan otonomi, harus dimulai menata kembali struktur ketatanegaraan pemerintahan desa. Desa diatur dalam undang-undang tersendiri terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah merupakan pilihan yang ideal. Desa ditempatkan sebagai satuan pemerintahan otonom diluar struktur pemerintahan kabupaten/kota merupakan pilihan strategis. Mengapa, karena daerah dan desa memang berbeda baik dari sisi penyelenggaraan pemerintahan dan persoalan yang dihadapi. Perbedaan karakteristik itulah yang secara historis pemerintahan kolonial mengatur desa tersendiri terpisah dari Desentralisasi Wett. Bahkan dipisahkan pula pengaturan desa-desa yang ada di Jawa-Madura dan di luar Jawa-Madura. Pengaturan terpisah menjadi pilihan karena keberadaan desa yang pluralistik sangatlah sulit diatur dalam satu peraturan yang akomodatif. Demikian juga mengatur desa dengan undang-undang tersendiri terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintahan masa tahun 1965 dan tahun 1979. Baru pemerintahan tahun 1999 dan pemerintah yang kemudian merevisinya tahun 2004 pengaturan daerah dan desa dijadikan dalam satu undang-undang. Karena itu desa akan lebih baik disusun dengan undang-undang tersendiri. Tidaklah tepat meletakkan rumah tangga desa dalam rumah tangga daerah, seperti diatur dalam UU 32/2004.
9. Secara substansi pemisahan pengaturan dalam undang-undang tersendiri harus konsisten dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD, yaitu daerah kabupaten/kota dibagi atas desa. Selain menunjukkan pemerintahan yang hirarkis juga menempatkan pemerintahan desa diluar struktur pemerintahan kabupaten/kota. Mengingat bahwa desa dalam kenyataannya sangat pluralistik, maka pengaturan melalui undang-undang tersendiri bisa dilakukan dengan 2 pilihan. Pertama, dibuat undang-undang khusus tentang desa (semacam UU otonomi Khusus) misalnya UU Nagari untuk Sumbar, UU Desa untuk Jawa, UU Desa untuk Bali, UU Kampung untuk Sumsel, dan lain-lain. Sisi positif alternatif ini, undang-undang yang dibuat akan responsif dan akomodatif karena sesuai dengan kondisi masing-masing. Namun memiliki sisi 3
negatif yaitu memerlukan waktu panjang dan biaya mahal, belum lagi adanya pandangan-pandangan dari kalangan nasional-sentris neo-orba yang menganggap mebahayakan NKRI. Kedua, dibuat satu undang-undang yang memuat asas-asas dan prinsip-prinsip lebih umum, misalnya menyangkut hubungan antar tingkatan, prinsip-prinsip good governance, keuangan dan fiskal. Penjabaran lebih lanjut diserahkan kepada daerah masing-masing melalui jalur tugas pembantuan. Pengaturan seperti masa jabatan, syarat pendidikan Kades, perangkat, struktur organisasi, tata cara pemilihan diserahkan pada daerah masing-masing. Sangatlah sulit membentuk satu undang-undang yang komplit namun responsif kepada semua desa. Karena itu undang-undang pemerintahan desa yang hanya mengatur prinsip-prinsip saja merupakan jalan keluar menampung pluralistik.
10. Untuk mencegah sentralistik dan “cengkeraman” pemerintah kabupaten/kota terhadap desa, perlu dipikirkan kerangka ketatanegaraan yang bisa menjamin checks & balances antara pemerintah kabupaten/kota dan desa. Pemerintahan perlu merumuskan ulang mekanisme prosedural tata hubungan kelembagaan antara kabupaten dan desa yang mampu meningkatkan posisi tawar desa terhadap kabupaten/kota. Suasana checks & balances bisa tercipta apabila dalam pembuatan Perda yang menyangkut kepentingan desa terdapat mekanisme yang melibatkan perwakilan desa. Membentuk Dewan Perwakilan Desa (DPDes) merupakan gagasan yang menarik. DPDes memiliki fungsi memperjuangkan kepentingan desa pada saat pemerintahan kabupaten/kota membentuk Perda berkaitan dengan kepentingan desa. Dengan demikian dalam pembentukan perda tertentu dilakukan melalui mekanisme dua kamar. Kalau kita menginginkan hubungan kelembagaan kabupaten/kota dan desa berjalan diaras demokrasi maka perlu dikembangkan mekanisme dialogis yang seimbang tidak monologis tanpa partisipasi.
4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar