Rabu, 16 November 2011

SISTEM PEMILU; (SUARA TERBANYAK ) DAN IMPLIKASI POLITIK

SISTEM PEMILU; (SUARA TERBANYAK ) DAN IMPLIKASI POLITIK

Syarief Ayfa'id
(materi disajikan untuk mata kuliah Seminar Politik Indonesia Kontemporer)

 Pemilu dan Putusan MK
Pemilu merupakan salah satu cara yang diajukan oleh sistem demokrasi sebagai arena kompetisi untuk  mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat[1]. Peserta pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik, tetapi yang paling utama adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat untuk kemudian dipilih oleh rakyat.
Saat ini, Pemilu masih menjadi salah satu cara terbaik dan sering digunakan oleh negara-negara yang anggap dirinya demokrasi untuk menentukan pemimpinnya. Demikian halnya di Indonesia, pemilu diselenggarakan dua bentuk yaitu, pemilu eksekutif (untuk memilih presiden dan wakil presiden) dan pemilu legislatif (memilih anggota DPR). Kedua bentuk pemilu tersebut telah menjadi agenda politik yang rutin dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk level nasional, pada level provinsi, kabupaten/kota dan bahkan ditingkat desa. Tentu saja proses ini tidak sekedar ritualitas politik. Aspek penting dalam pemilu tersebut adalah terjadinya penyerahan mandat oleh rakyat kepada pemimpinnya untuk memperjuangkan hak-haknya.
Pemilihan umum anggota legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009, merupakan sistem lama yang baru diadopsi dalam sistem pemilu legislative. Hal sering dengan putusan Mahkamah Konstitusi "mendelegitimasi" otoritas partai politik dalam menentukan calon-calon dari kader-kadernya berdasarkan nomor urut (ranking) atau yang lebih dikenal dengan proportional representation system. Putusan MK ini setidaknya menimbulkan perdebatan. Pertama, kelompok yang tidak sepakat dengan sistem suara terbanyak; sistem ini akan mendeliever orang-orang luar partai yang tidak punya kapasitas tetapi memiliki modal financial dan popularitas untuk masuk dalam parleman. Kedua, adalah kelompok yang pro atas putusan MK. Kelompok ini beranggapan bahwa rakyatlah yang berhak menentukan siapa wakilnya di parlemen, karena rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Namun demikian yang menarik untuk dikaji secara mendetail dalam persoalan ini adalah tentang kontestasi para calon legislatif di internal partai dalam memenangkan atau mendapatkan kursi di parlemen (DPR), serta strategi para celeg dalam memenangkan kompetisi politik tersebut.
Secara substantif, putusan MK tersebut berimplikasi pada dua hal, pertama pada level institusi partai politik, yaitu adanya perubahan pola dan strategi partai politik dalam memperoleh kursi di legislatif, dari model sentrifugal[2] ke configural. Artinya bahwa sebelum putusan MK, peranan institusi partai politik masih dominan dalam memperjuangkan dan memenangkan para caleg-nya yang mengikuti pemilu legislatif. Meminjam Robert Michel dalam bukunya partai politik dan kecenderungan oligarkis, bahwa watak partai politik akan ditentukan oleh peranan pemimpin di dalam organisasi di satu pihak dan oleh kecederungan yang dialami organisasi itu sendiri[3]. Partai politik secara institusi memiliki peran sentral dalam menentukan caleg-caleg "nomor jadi" (sistem nomor urut). Setelah putusan MK, "dominasi" (strategi) institusi partai mengalami penurunan, dan partai menyerahkan sepenuhnya kepada para caleg sebagai kompetitor politik untuk menyusun strateginya sendiri dalam berkompetisi.  Kedua, pada level caleg sebagai aktor, model kompetisi dan kontestasi tidak hanya eksternal (antar partai politik), akan tetapi internal dan eksternal, yaitu para caleg berkompetisi dengan caleg diinternal partai (memperebutkan suara terbanyak) dan berkompetisi dengan caleg dari partai lain dalam satu daerah pemilihan yang telah ditentukan oleh lembaga penyelenggaran pemilu (KPU).
Pada Pemilu legislatif yang telah dilaksanakan pada tanggal 9 April tahun 2009, peserta pemilu diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal Aceh:
Tabel 1. daftar partai peserta pemilu legislatif 2009.
No
Nama Partai
No
Nama Partai
1
20
2
21
3
22
4
23
5
24
6
25
7
26
8
27
9
28
10
29
11
30
12
31
13
32
14
33
15
34
16
41
17
42
18
43
19
44
Catatan: Tanda * menandakan partai yang mendapat kursi di DPR pada Pemilu 2004
Sumber data : www.kpu.co.id
Dari tabel diatas, setidaknya dapat dijelaskan beberapa hal; 1) jumlah partai peserta mengalami penambahan sebanyak 20 partai politik (Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 diikuti oleh 44 parpol). 2)  terdapat 19 (sembilan belas) parpol yang mendapatkan kursi di DPR pada pemilu 2004, berhak mengikuti pemilu 2009, dan sebagian parpol tersebut menjadi peserta pemilu 2009 karena parpol tersebut memenangkan gugutannya di MK[4]. 3) terdapat 13 partai politik baru menjadi peserta pemilu, yaitu PPPI, PPRN, Gerindra, Barnas, PPI, PKP, PMB, RepublikaN, PKDI, PIS, PKNU, PPNUI, PSI.

PDI Perjuangn dan Pemilu Legislatif di Manggarai
PDI Perjuangan di wilayah NTT merupakan partai yang memiliki basis dukungan politik yang relatif kuat, hal ini bisa dilihat kemenangan kader PDIP dalam pemilihan gubernur NTT tahun 2008, serta sebagian besar kepala daerah di daratan Flores dan Timor merupakan kader dari PDIP. Setidaknya menjadi salah satu indicator awal bahwa PDIP memiliki peluang untuk mendominasi perolehan suara pada pemilu legislatif 2009.  Demikian halnya peluang politik para caleg PDIP di kabupaten Manggarai. Dimana  kepala daerah merupakan kader yang disusung PDIP serta mayoritas kursi di parlemen juga di dominasi oleh kader-kader PDIP.
Menjelang pemilu legislatif pengurus tingkat kabupaten Manggarai (DPC PDIP Kab.Manggarai) optimis akan memperoleh kursi mayoritas di DPRD Manggarai. Sebelum putusan MK; diberlakukannya sistem suara terbanyak, PDIP telah mendaftarkan nama-nama calon anggota legislatif berdasarkan nomor urut. Tentu kualifikasi penomoran berdasarkan kebijakan internal partai, dimana berdasarkan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa penomoran caleg di PDIP DPC Manggarai di lihat dari dua hal; 1) caleg tersebut merupakan kader  lama di partai yang potensial[5], 2) kader partai dan atau simpatisan partai PDIP yang mendapatkan "restu" dari DPP. Dua kriteria ini setidaknya memberikan gambaran bahwa caleg PDI Perjuangan sangat ditentukan oleh karier politik dan atau jabatan struktural dalam organisasi partai. Selain faktor tersebut, kekuatan dan sentralisasi keputusan DPP juga menjadi faktor dominan dalam penomoran caleg jadi.
Pemilu legislatif dengan sistem suara terbanyak, membuat konstestasi politik kader-kader partai politik semakin terbuka, berbagai cara dan strategi dilakukan oleh para caleg guna meraih simpatik dan dukungan masyarakat agar terpilih pada pemilu tanggal 9 April 2009. demikian halnya degan PDIP penerapan sistem suara terbanyak sedikit banyak mempengarauhi  soliditas partai dan kinerja mesin partai dalam menyusun strategi memenangkan pemilu. Tentu kondisi yang sama juga dialami oleh partai lain, hanya tingkat konsolidasi strategi yang berbeda.
Hasil pemilu legislatif 2009 menunjukan bahwa terjadi penurunan yang signifikan perolehan kuris PDIP di DPRD kabupaten Manggarai. Karena kajian ini mengambil sample di dapil 3 yaitu meliputi kecamatan Reok dan kecamatan Cibal[6]. Hasil pmilu legisltaif 2009, pada dapil ini 3 ini PDIP hanya mampu memperoleh 4 kursi. Artinya bahwa terjadi penurun jumlah kursi yang diperoleh para caleg PDIP. Tentu hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah soal strategi parpol dalam konteks system suara terbanyak serta munculnya aktor-aktor politik baru yang dianggap lebih disukaui oleh masyarakat.
Dari kasus tersebut yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah soal strategi para caleg mencari dukungan dan restu para tokoh adat dan tokoh agama[7] untuk memenangkan pemilu legislatif? Bagaimana implikasi sistem pemilu terhadap partai politik?
Partai Politik dan Pencarian Dukungan Politik
Partai politik merupakan salah satu sarana untuk berpartisipasi. Jika partai politik sebagai kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, maka sangat jelas bahwa tujuan partai politik untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekusaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan dan program partainya. Seperti yang didefenisikan oleh Sigmun Neumann: "Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersiang untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lainnya yang mempunyai pandangan berbeda-beda.
Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas"[8]. Partai politik secara intesif mencari dukungan politik agar kontinuitas program-program politiknya memberikan effect domino terhadap pola dukungan masyarakat terhadap partai tersebut.
Pendapat Sigmund di atas setidaknya mendeskripsikan tentang penting keberadaan partai politik dalam mengartikulasikan keinginan masyarakat mayoritas dan memperjuangkanya agar menjadi agenda kebijakan pemerintah yang berkauasa melalui cara-cara yang demokratis. Keberadaan aktor-aktor politik yang berkualitas ( para caleg) dan juga program-program yang ditawarkan oleh partai menjadi bagian yang teritegrasi dalam strategi memenangkan kontestasi pemilu legislative.
Dan Indonesia sebagai negara yang menganut  sistem demokrasi, maka partai politik merupakan instrumen penting mengartikulasikan kepentingan masyarakat melalui sarana komunikasi politik. Apalagi secara geo-politik, Indonesia sangat luas dan memiliki kultur dan budaya yang heterogen, tentu saja partai politik menjadi perangkat perantara yang relevan digunakan. Karena dalam negara demokrasi, salah satu fungsi partai politik yaitu sebagai sarana komunikasi politik. Partai politik sebagai pengantar arus informasi dua arah dalam negara, yaitu arus top-down dan bottom-up. Posisi partai dalam fase ini sebagai jembatan antara pemerintah sebagai the rulers dengan masyarakat sebagai the ruled.
Jika fase "jembatan" sebagai arena artikulasi dan komunikasi politik masyarakat, maka fase berikutnya adalah, fase driver, dimana partai politik bertanggungjawab terhadap terbentuknya the rulers (pemerintah) yang ruled yaitu pemerintahan yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Ichlasul Amal, bahwa partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai[9]. Artinya bahwa partai politik tidak saja berperan sebagai sarana untuk mengajukan dan menghantarkan masyarakat menjadi aktor-aktor politik ke jabatan publik, akan tetapi partai politik juga menjadi alat pengontrol terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung. Tujuanya adalah agar pemerintah yang berlangsung tidak power full yang akhirnya bertindak semena-mena dan mengabaikan kepentingan masyarakat.
Dari berbagai pendapat dan definisi yang disampaikan, baik oleh Carl J[10]., RH. Soltau[11], Robert Michels maupun Sigmund Neumann menunjukan bahwa  partai politik adalah instrument penting dalam arena demokratisasi. Terlepas kemudian partai memiliki patologi-patologi, dan berbagai problem struktural yang dialaminya.
Dalam konteks pemilu legislatif, partai politik tidak lagi menjadi analisis tunggal dalam melihat kemenangan perolehan dukungan dan pengaruh politik atau-pun perolehan suara terbanyak dan jumlah kursi dominan di legislatif. Hal ini disebabkan  pemilu legislatif dengan sistem suara terbanyak memposisikan pengaruh politik aktor-aktor politik (caleg) pada level yang seimbang dan bahkan ada kecenderungan melebihi dari popularitas partai itu sendiri.
Dalam pemilu legislatif di kabupaten Manggarai, dapil 3, para caleg, baik dari dari PDIP maupun partai-partai lain, saling bersaing untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dan salah satu cara yang dilakukan oleh para caleg PDIP dapil 3 adalah mencari pengaruh dan dukungan politik dari para tokoh adat dan tokoh gereja.  Strategi ini menjadi penting dilakukan karena posisi tokoh adat dan tokoh gereja di Manggarai secara keseluruhan dan dapil 3 khususnya memberikan kontribusi positif terhadap perolehan suara pada setiap pemilu.
Namun demikian para celag PDIP lag-lagi harus berkompetisi dengan caleg lain dari partai lain, khususnuya partai kasih demokrasi Indonesia (PKDI) partai politik yang bernuasan relegius Katolik ini secara secara terangan-terangan meminta dukungan politik dari kalangan gereja. Demikian halnya partai Golkar dan Demokrat, juga melakukan hal yang sama. Peran kedua elemen diluar institusi partai politik memang sangat siginifikan. Dari berebagi data yang diperoleh, bahwa peristiwa politik (pilkada, pilgub, dan pileg), tokoh adat dan tokoh gereja merupakan foaktor penting dalam memenangkan sutau konstestasi politik di daratan Flores, dan khususnya di kabupaten Manggarai.
Sistem Pemilu dan Implikasi Politik
Sistem pemilu yang anut oleh sebuah negara sangat berpengaruh terhadap sistem kepartaian. Seperti halnya sistem perwakilan proporsional (proportional representation) sangat berpengaruh dengan sistem multi partai satu pihak, serta antara sistem pemilihan distrik (single member district) dengan sistem dua partai dipihak lain. Artinya bahwa sistem pemilihan merupakan faktor penting yang menentukan tipe sistem kepartaian[12].
Indonesia merupakan salah satu negara dari 199 negara di dunia yang melaksanakan pemilu langsung dengan memakai sistem plurality/majority untuk memilih eksekutif dan juga lembaga legislatif. Sistem ini tentu saja dirancang sebagai sebuah metode saluran politik yang dianggap relevan dengan kondisi geo-politik bangsa ini. Sekaligus menjadi bahan evaluasi atas penerapan sistem perwakilan yang selama ini dilakukan. Secara langsung maupun tidak langsung menjadikan partai politik sebagai pemegang kendali atas kedaulatan rakyat dalam fase demokrasi prosedural.
Sebagai sebuah sistem, pemilu tentunya memiliki empat fungsi utama; pertama berperan sebagai saluran dan kanal politik rakyat untuk mendelegasikan wakil-wakilnya memperjuangkan kepentinganya. Kedua, sebagai arena kontestasi partai politik dan aktor-aktor politik memperoleh kekuasaan serta arena rewad and punishmen politik bagi parpol dan aktor politik. Ketiga menerjemahkan pilihan yang diberikan rakyat menjadi "penguasa" yang dimenangkan dalam kursi legislatif. Keempat, sistem pemilu yang lain membentuk batas-batas diskursus politik yang bisa diterima dalam cara-cara yang berbeda, dan memberikan insentif bagi meraka yang berkompetisi untuk mengiklankan dirinya kepada pilih dengan cara dan metode tertentu.
Suatu sistem pemilu yang dipilih oleh suatu negara sebagai metode, tentu saja tidak terpasung dalam satu pilihan. Robert Dahl mengatakan bahwa  sistem-sitem pemilihan sangat bervariasi tanpa akhir. Hal ini disebabkan karena tidak ada satupun sistem pemilihan yang dapat memenuhi semua kriteria yang mungin diharapkan. Sistem pemilu terbaik tidak lebih dari sebuah kompromi atas tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Jika kita memilih satu sistem, kita akan mendapatkan beberapa nilai berharga dari sistem  lainnya[13].
Pada pemilu legislatif April 2009 lalu, bila dilihat dari tata cara dan mekanisme pelaksanaannya, dapat dikatakan bahwa pemilu legislative menggunakan gabungan santara sistem propositional representation, sistem first past the post (FPTP) dan system block vote serta system party block vote[14].
Sistem proporsional, kursi yang dimenangkan oleh suatu partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan sebanding seimbang dengan suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihannya. Dalam sistem ini dikenal istilah distrik magnitude, sebab setiap distrik berwakil majemuk (lebih dari satu)[15].
Sistem First past the post ini disebut juga mayoritas relatif (relative majority) atau mayoritas sederhana (simple majority). Prinisp dari tipe ini adalah mereka yang mendapatkan suara mayoritas relative/sederhana, bukan mayoritas absolut/mutlak, adalah pemenangnya[16].
Sedangkan sistem block vote atau disebut juga Approval Voting (AV). Ciri dari sistem pemilu ini adalah sebagai berikut: pertama, distrik berwakil majemuk (multi-member distrik) yaitu 1 distrik untuk memilih beberapa anggota perawakilan, kedua, pemilih mempunyai jumlah pilihan sebanyak  jumlah kursi yang diperbutkan. Ketiga, kandidat yang mendapat suara terbanyak otomatis mendapatkan jabatan[17].
Pemilu legislatif April 2009, dengan sistem pemilu suara terbanyak atau lebih dikenal dengan gabungan system plurality/majority sistem atau juga disebut sistem distrik[18], dengan sistem propotional representation tentu saja memberikan implikasi terhadap derajat kontestasi, yaitu dari kontestasi antar partai ke kontestasi antar caleg internal partai dan eksternal partai sebagai aktor partai politik.[19].
Secara umum, kelebihan dari sistem ini adalah, pertama, tingkat kedekatan calon dengan pemilih sangat tinggi. Kedua, akuntabilitas politik yang menjadi wakil rakyat sangat tinggi. Ketiga, pemilih data betul-betul menentukan sendiri calon yang menurut mereka dapat diandalkan. Keempat, terbatasnya peranan partai politik yang hanya menjadi fasilitator dan tidak berhak menentukan calon. Kelima, kemungkinan terjadinya sistem dua partai.
Namun demikian bila ditinjau dari aspek kontestasi para caleg, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan  pengalaman pemilu legislatif di kabupaten, khususnya di dapil 3. Pertama  pemilu dengan sistem suara terbanyak mendorong para caleg melakukan kompetisi internal dan eksternal partai dengan mengedepankan kekuatan relasi sosial, ekonomi, politik dan bahkan agama dalam memperoleh dukungan politik (memperoleh suara terbanyak). Kompetisi dengan strategi ini tidak saja meminimkan peran partai politik akan tetapi menyebabkan terjadinya fragmentasi kondisi sosial masyarakat, sebagai akibat terbentuknya patron baru dalam masyarakat berdasarkan peta dan pola dukungan, baik itu berdasarkan patron tokoh adat maupun tokoh agama.
Kedua, sistem suara terbanyak  melahirkan metode transaksional langsung antara caleg dengan pemilih. Sehingga menjadi rahasia umum bahwa sebagian caleg yang memiliki modal financial yang relatif mapan berhasil memperoleh kursi di legislatif (hal ini sangat berbeda dengan sistem perwakilan melalui nomor urut). Ketiga. Sistem suara terbanyak  memberikan peluang melahirkan aktor-aktor politik dadakan, yang minim pengalaman politik. Kondisi ini sekaligus mendelegitimasi kekuatan dan peran institusi partai politik, karena parpol hanya berperan sebagai jembatan prosedur pemilu. Keempat. Sistem suara terbanyak dalam ranah pola dukungan, secara langsung maupun tidak langsung menciptakan struktur social, dan agama kedalam clan-clan  politik.



[1] Syarat-syarat pemilu biasanya dibuat dan disepakati bersama oleh partai politik yang ada di lembaga legislative dan pemerintah, yang kemudian di tuangkan dalam bentuk regulasi atau undang-undang pemilu.
[2]  Lebel terhadap peran partai politik untuk memenangkan para calegnya dalam pemilihan legislatif yang sangat central dan dominan.  
[3] Robert Michel dalam bukunya partai politik dan kecenderungan oligarkis dalam birokrasi; kata pengantar, hal. xxi
[4] Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008 tanggal 10 Juli 2008 telah menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pasal itu dinyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Putusan ini mengabulkan permohonan uji materil tujuh partai politik peserta Pemilu 2004 yang berdasarkan ketentuan Pasal 316 huruf d itu tidak dibolehkan ikut Pemilu 2009, karena mereka tidak memiliki kursi di DPR. Ketujuh partai itu ialah PPD, PPIB, PNBK, Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia dan Partai Merdeka. Ini berbeda dengan sembilan partai lainnya, yakni PBR, PDS, PBB, PPDK, Partai Pelopor, PKPB, Partai PDI, PKPI dan PNI Marhaenis, meskipun tidak memenuhi syarat electroral treshold sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, namun dibolehkan ikut Pemilu 2009 berdasarkan ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008, karena mereka mempunyai kursi di DPR. Ketujuh partai pemohon pengujian berpendapat bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 208 itu bersifat diskriminatif, tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan asas keadilan.

[5] Kader potensila yang dimaksud adalah; memiliki dukungan basis massa, dukungan tokoh adat, tokoh agama, dan juga dukungan financial.
[6]  Pada pemilu 2004, PDIP melalui dapil memperoleh kursi sebanyak jatah 8 kursi dari 10 kursi yang diperbutkan.
[7]Untuk diketahui bahwa Agama mayoritas di Kabupaten Manggarai adalah Katolik
[8]  Sigmund Neumann "Modern Political Parties: Comparative Politics: A reader, diedit oleh Harry E. Eckstein dan david E. Apter (London: The Free Press of Glencoe, 1963), hlm.352.
[9]  Prof. Ichlasul Amal dalam pengantar: Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Hal.xi.
[10] Carl. J.F.: "Partai politik adalah seklompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpim partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat diil maupun teriil".
[11]  R.H. Soltau: "Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang- dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih-bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka".
[12]  Jhon G. Grumm ; beberapa teori tentang sistem pemilihan; dalam teori-teori partai politik mutakhir, hal. 37.
[13]  Robert A. Dah, perihal demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hal 181.
[14] Sistem  party block vote merupakan variasi sistem block vote. Yang membedakan adalah pada sistem party block vote, para pemilih memilih partai bukan memilih kandidat, dan partai yang memenangkan suara terbanyak memenangkan semua suara distrik tersebut
[15]  Variasi dari sistem PR adalah daftar propotional representation dan single transferable. Menurut david M .Farrel bahwa ciri dari tipe PR adalah, pertama, setiap distrik berwakil majemuk. Kedua, setiap partai menyajikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih banyak dari jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu dapil. Ketiga, pemilih memilih salah satu kandidat. Keempat, partai memperoleh ursi sebanding dengan suara yang diperoleh, dan kelima kandidat yang dapat mewakili adalah yang berhasil melalmaui ambang batas (threshold)
[16] Secara detail operasionalisasi dari sistem ini adalah sebagai berikut. Pertama, setiap distrik terdiri atas anggota legislatif tunggal. Kedua, pemilih hanya memilih salah satua nama kandidat dengan cara menuliskan nama atau memberi tanda. Ketiga pememanganya adalah kandidat yang mendapat suara terbanyak sekalipun kurang dari 50%+1 suara.
[17]  Contoh block vote: sebuah distrik atau dapil ada 30 kontestan, sedangkan  dari distrik atau dapil tersebut hanya mempunyai jatah 10 kursi dilegislatif.
[18] Dalam sistem ini wilayah negara dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan yang berdasarkan atas jumlah pendudukan. Setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil, kecuali pada varian block vote dan party block vote. Kandidat yang memiliki suara terbanyak akan mengambil semua suara yang didapatnya ( the winner take all). Sistem ini terbagi atas first past the post, alternative vote, two-round system block vote
[19] Sigit pamungkas; perihal pemilu, 2009, hal 26-27.


Penulis adalah Direktur Pusat Strategi Kebijakan dan Pengembangan Masyarakat
Staf pendidik Ilmu Pemerintahan STPMD "APMD" Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar