Jumat, 18 November 2011

PEMBANGUNAN PERDESAAN & PENANGGULANGAN KEMISKINAN


Gagasan Revrisond Baswir untuk 
PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

 Pengantar.
Kritik terhadap pelaksanan pembangunan di Indonesia telah berlangsung cukup lama. Walaupun dalam berbagai edisi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) berulangkali menegaskan bahwa hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, tetapi perhatian yang terlalu berlebihan terhadap pembangunan ekonomi telah menyebabkan tertinggalnya berbagai aspek pembangunan lain.
          Sebagai contoh, ketika pembangunan ekonomi diarahkan sedemikian rupa untuk menyongsong datangnya era perdagangan bebas, pembangunan sosial dan politik cenderung mengalami kemunduran. Sedangkan pembangunan hukum, selain memang memiliki kecenderungan untuk selalu terlambat, penerapannya cenderung tersendat-sendat.
Sementara itu, walau sebelum dilanda oleh krisis pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia sering mendapat pujian dari masyarakat internasional, tidak berarti ia sama sekali bebas dari kelemahan. Kelemahan itu terutama terletak pada terlalu besarnya perhatian terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memang cenderung diperlakukan sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan.
          Konsekuensinya, ketika pertumbuhan ekonomi berhasil dipacu hingga mencapai rata-rata 7 persen pertahun, kesenjangan ekonomi dalam berbagai aspeknya justru cenderung melebar. Sektor pertanian semakin tertinggal dibandingkan sektor industri. Daerah pedesaan semakin tertinggal dibandingkan perkotaan. Sebaliknya, ketika yang kaya cenderung makin kaya, yang miskin justru makin banyak utangnya.
          Bahkan, belakangan, menyusul terpuruknya perekonomian Indonesia oleh hempasan badai krisis ekonomi, hasil-hasil pertumbuhan ekonomi yang telah diakumulasi selama 32 tahun itu, dalam sekejap mata hilang begitu saja tanpa jelas hutan dan rimbanya. Kini perekonomian Indonesia justru terpuruk di bawah himpitan utang. Selain menanggung beban utang luar negeri, pemerintah dan swasta sebesar 137 milyar dolar AS, Indonesia kini juga terpuruk di bawah himpitan utang dalam negeri sebesar Rp.650 trilyun.
          Dengan latar belakang seperti itu, tantangan yang dihadapi daerah perdesaan di Indonesia dapat dipastikan akan semakin berat. Sesuai dengan karakteristiknya, daerah perdesaan tidak hanya ditandai oleh keterbelakangan, ia juga menanggung beban untuk memperkerjakan mayoritas angkatan kerja Indonesia yang hanya berpendidikan SD ke bawah, menghidupi sebisanya lapisan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan sedapat mungkin sekuat tenaga untuk menyediakan persediaan pangan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
          Pertanyaannya, tindakan apakah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kondisi perdesaan yang memprihatinkan tersebut? Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan itu. Berikut ini akan dikemukakan terlebih dulu hakekat pembangunan perdesaan secara umum, serta arti penting penanggulangan kemiskinan sebagai indikator ekonomi keberhasilan pembangunan perdesaan.

Pembangunan Perdesaan
          Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Namun demikian, karena sebagian besar aktor utama pembangunan  berkedudukan di perkotaan, mereka cenderung lebih mengutamakan pembangunan perkotaan daripada perdesaan.
          Yang memprihatinkan, karena pelaksanaan pembangunan pada umumnya direncanakan dari perkotaan, tidak jarang pembangunan perdesaan hanya disubordinatkan terhadap pembangunan perkotaan. Artinya, pembangunan perkotaanlah yang utama, sedangkan pembangunan perdesaan bersifat menunjang pembangunan perkotaan.
          Indikasi penganaktirian pembangunan perdesaan itu antara lain dapat ditelusuri melalui berbagai dokumen Repelita. Sebagaimana dikemukakan oleh Mubyarto (dalam Mubyarto dkk., 1996), dalam Repelita kita memang tidak akan menemukan adanya suatu bab khusus yang membahas pembangunan perdesaan. Dalam klasifikasi Repelita, pembangunan perdesaan diletakkan sebagai salah satu bagian dari pembangunan daerah, yaitu yang meliputi: (a) pembangunan daerah tingkat I; (b) pembangunan daerah tingkat II; (c) pembangunan desa; (d) pembangunan ruang daerah; dan (e) penataan agraria.
          Sehubungan dengan pembangunan perkotaan Repelita antara lain menggariskan bahwa, "Pembangunan perkotaan perlu dilanjutkan dan ditingkatkan secara terencana dan terpadu...."          Sedangkan mengenai pembangunan (masyarakat) desa, Repelita antara lain menggariskan sebagai berikut:
          Pembangunan masyarakat perdesaan perlu terus ditingkatkan terutama melalui pengembangan kemampuan sumberdaya manusia termasuk penciptaan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat perdesaan. Sejalan dengan itu perlu ditingkatkan kemampuan masyarakat perdesaan untuk berproduksi serta mengolah dan memasarkan hasil produksinya, sekaligus menciptakan lapangan kerja. Dengan demikian masyarakat perdesaan makin mampu mengerahkan dan memanfaatkan sebaik-baiknya segala dana dan daya bagi peningkatan pendapatan dan taraf hidupnya.

          Berdasarkan kedua kutipan tersebut dapat disaksikan betapa adanya semacam kesengajaan untuk di satu pihak meningkatkan pembangunan perkotaan secara terencana dan terpadu, sementara di pihak lain, pembangunan perdesaan lebih banyak diserahkan pada prakarsa dan swadaya masyarakat desa sendiri.
          Anehnya, di luar pembangunan (masyarakat) desa, selama ini juga terdapat bagian lain dari Repelita yang secara khusus membahas penataan agraria. Padahal pembangunan perdesaan dan pembangunan pertanian merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Bahwa dalam kenyataannya pembangunan perdesaan dipisahkan dari pembangunan pertanian, hal itu semakin memperkuat dugaan betapa pelaksanaan pembangunan perdesaan hanya diperlakukan sebagai subordinat dari pembangunan perkotaan.
          Dalam ungkapan yang lain, dapat dikatakan pula bahwa pembangunan pertanian selama ini terutama memang tidak ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan membangun pedesaan, melainkan untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi kebutuhan nasional. Artinya, melalui pembangunan sektor pertanian, masyarakat desa sesungguhnya cenderung diperlakukan sebagai sapi perah untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pembangunan secara nasional.
          Walau pun demikian, penekanan pembangunan perdesaan pada pembangunan masyarakat secara tidak langsung merupakan pengakuan para perencana pembangunan terhadap keterbelakangan masyarakat desa dari masyarakat kota. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, keterbelakangan masyarakat desa ini tidak ditandai hanya oleh keterbelakangan pendidikan, atau karena banyaknya jumlah penganggur tak kentara, tapi juga karena masih cukup besarnya jumlah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
          Dengan latar belakang seperti itu, walaupun perhatian utama dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan tetap harus diberikan pada pelaksanaan pembangunan pertanian, tetapi hal itu harus dilaksanakan dengan sepenuhnya menyadari bahwa hakekat pembangunan perdesaan pada dasarnya adalah untuk mengurangi dan menghapuskan kemiskinan (Johnston dan Clark dalam Kasryno dan Stepanek, 1985).
          Dengan hakekat seperti itu, pelaksanaan pembangunan pertanian, pertama-tama dan terutama, harus diarahkan pada peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat desa, bukan untuk mengejar target penyediaan hasil-hasil produksi pertanian tertentu. Dengan orientasi seperti itu, dapat dikatakan pula bahwa pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan aspek yang sangat mendasar dalam program pembangunan nasional.
          Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemiskinan bukanlah semata-mata persoalan tidak berharta, kurang gizi, atau tidak terdidik, lebih dari itu ia adalah persoalan harga diri dan martabat manusia. Dengan demikian, upaya penanggulangan kemiskinan seharusnya ditempatkan sebagai program utama dalam pelaksanaan hakekat pembangunan nasional, yaitu yang dipahami sebagai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Penanggulangan Kemiskinan
          Dengan dipahaminya hakekat pembangunan perdesaan sebagai upaya penanggulangan kemiskinan, maka keberhasilan pembangunan perdesaan dengan sendirinya terletak pada kemampuannya dalam menanggulangi kemiskinan. Sehubungan dengan itu, sejak beberapa waktu belakangan ini ada kesan yang sangat kuat bahwa pemerintah sedang berusaha sekuat tenaga dalam menanggulangi persoalan tersebut. Hal itu antara lain tampak pada diangkatnya penanggulangan kemiskinan sebagai program resmi Pelita VI, dibentuknya jabatan Asisten Ketua Bappenas Bidang Penanggulangan Kemiskinan, serta diluncurkannya program Inpres desa teringgal (IDT).
          Tapi persoalan kemiskinan tidak sesederhana itu. Di satu pihak, masalah kemiskinan sangat erat kaitannya dengan penentuan batas garis kemiskinan. Walaupun pemerintah selalu mengatakan bahwa jumlah penduduk miskin telah berhasil dikurangi dari 60 persen pada tahun 1970 menjadi 15 persen pada tahun 1990, hal itu sebenarnya baru mengungkapkan jumlah penduduk yang mengkonsumsi kurang dari 260 kilogram beras per orang per tahun. Besar kecilnya jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemampuan memenuhi kebutuhan konsumsi kalori minimum itu, sama sekali belum mencerminkan besar kecilnya masalah kemiskinan yang ada dihadapan kita.
          Selain itu, masalah kemiskinan juga tidak dapat dipisahkan dari faktor penyebabnya. Sebagaimana diketahui, masalah kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. Masing-masing jenis kemiskinan ini memerlukan strategi penanggulangan yang berbeda. Strategi penanggulan kemiskinan natural dan kultural misalnya, tidak dapat disamakan dengan strategi penanggulangan kemiskinan struktural, demikian pula sebaliknya.
          Bertolak dari pemikiran seperti itu maka upaya penanggulangan kemiskinan harus senantiasa didasarkan pada definisi kemiskinan yang jelas, penentuan garis kemiskinan yang tepat, dan pada pemahaman mengenai sebab-sebab timbulnya persoalan tersebut. Sehubungan dengan itu, maka perlu dibedakan antara kemiskinan relatif dengan kemiskinan absolut.
          Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara tingkat pendapatan suatu kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan kelompok masyarakat lainnya. Seseorang yang tergolong kaya dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, bisa jadi merupakan orang miskin dalam kelompok masyarakat yang lain. Masalah kemiskinan relatif ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai masalah kesenjangan.
          Sedangkan kemiskinan absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang ditentukan dengan terlebih dulu menetapkan garis tingkat pendapatan minimum. Orang-orang yang berpendapatan di atas tingkat pendapatan minimum tersebut dikategorikan sebagai bukan orang miskin. Sedangkan orang-orang yang pendapatannya kurang dari itu disebut sebagai orang miskin. Dengan demikian masalah penentuan jumlah penduduk miskin sangat erat kaitannya dengan persoalan di mana garis kemiskinan diletakkan.
          Sehubungan dengan itu, definisi kemiskinan yang dikemukakan Amartya Sen berikut ini layak pula untuk disimak. Menurut Sen, "masalah kemiskinan bukanlah sekedar masalah lebih miskin daripada orang lain dalam suatu masyarakat, melainkan masalah tidak dimilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara layak--kegagalan untuk mencapai tingkat "kelayakan minimum tertentu," (dalam Meier, 1989). Karena kemiskinan dipahami sebagai kegagalan mencapai tingkat kelayakan minimum, maka kriteria kelayakan minimum itu haruslah ditentukan secara absolut. Jumlahnya harus sama antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
          Untuk dapat menentukan tingkat kelayakan minimum yang bersifat absolut ini, maka terlebih dulu harus ditentukan apa yang oleh Sen disebut sebagai "capability facctors" atau faktor-faktor kelayakan. Komponen faktor-faktor kelayakan ini misalnya adalah: bebas dari kelaparan dan penyakit; mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat; memiliki tempat berteduh yang layak; memiliki kemampuan untuk bepergian mengunjungi saudara; dan lain sebagainya.
          Bertolak dari penjelasan Sen itu maka penentuan garis kemiskinan sebenarnya tidak dapat dilakukan secara arbiter. Sebelum menentukan garis kemiskinan, perlu ada kesepakatan mondial mengenai tingkat kelayakan hidup minimum. Setelah itu, untuk menentukan jumlah pendapatan minimum guna mencapai tingkat kelayakan hidup minimum tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian yang mendalam. Tanpa pendekatan seperti itu, jumlah penduduk miskin yang terdapat dalam suatu masyarakat, tidak layak untuk dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin dalam masyarakat yang lain.

Kemiskinan Struktural
          Bagaimanakah pengalaman Indonesia dalam menentukan garis kemiskinan? Selain ditetapkan secara arbiter, besaran yang dipakai oleh pemerintah dalam menentukan garis kemiskinan adalah besaran pengeluaran. Hal itu tentu cukup menyesatkan (Arief, 1993), sebab orang kaya biasanya hanya membelanjakan sebagian penghasilannya, sebagian lagi disisihkan untuk tabungan atau untuk investasi. Sedangkan orang miskin, baik dengan cara mengijon atau berbelanja secara mengangsur, justru cenderung berbelanja lebih besar daripada penghasilannya.
          Selain itu, garis kemiskinan yang didasarkan atas kemampuan memenuhi kebutuhan konsumsi kalori minimum sebesar 260 kilogram tadi juga tergolong sangat rendah. Sedemikian rendahnya, sehingga bila ditingkatkan misalnya sebesar 10 persen, jumlah penduduk miskin Indonesia akan melonjak menjadi sekitar 120 juta orang atau sekitar 60 persen dari jumlah seluruh penduduk (Pamungkas, 1994). Bahkan, bila garis kemiskinan itu dinaikkan dengan kelipatan sebesar 300 persen, jumlah penduduk miskin Indonesia akan membengkak menjadi sekitar 80 persen (Damanhuri, 1996). Dengan demikian, penduduk Indonesia yang hidup secara layak memang masih sangat kecil jumlahnya.
          Pertanyaannya, faktor apakah terutama yang menyebabkan terjadinya persoalan tersebut? Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan natural, kultural, dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, lanjut usia, atau karena bencana alam.
          Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros, dan lain sebagainya. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijakan ekonomi yang diskriminatif, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian dunia yang cenderung menguntungkan kelompok negara tertentu.
          Bertolak dari ketiga jenis kemiskinan itu, di satu pihak, harus diakui bahwa di sekitar kita memang terdapat kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor natural dan kultural. Selain terdapat warga masyarakat yang memiliki keterbatasan fisik dan mental atau menjadi korban bencana alam, adanya kebiasaan hidup boros, malas, dan tidak disiplin pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu tidak dapat dipungkiri. Tapi di pihak lain, sulit dibantah bahwa faktor-faktor struktural juga memainkan peranan yang cukup penting dalam mendorong munculnya persoalan itu.
          Pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia yang terlalu mementingkan pertumbuhan, di satu sisi telah menyebabkan terabaikannya upaya-upaya serius untuk menanggulangi kesenjangan. Sebagaimana diketahui, sumber utama kesenjangan ekonomi antara Jakarta dan pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya adalah sentralisasi pengumpulan penerimaan negara yang sangat berlebihan di tangan pemerintah pusat.

Sentralisasi Pendapatan dan Belanja Negara 1989/1990 - 1993/1994
(dalam triliun rupiah)

  Tahun                         Pendapatan                          Belanja             
                _____________________________________________________
                            Pusat                        Daerah          Pusat                 Daerah               

  1989/1990                  Rp 38,16      Rp 1,51          Rp 32,88             Rp 8,80
  1990/1991                  Rp 49,45      Rp 2,03          Rp 42,21             Rp 9,26
  1991/1992                  Rp 51,99      Rp 2,30          Rp 43,20             Rp11,09
  1992/1993                  Rp 58,16      Rp 2,54          Rp 47,84             Rp12,87
  1993/1994                  Rp 62,65      Rp 3,14          Rp 49,87             Rp15,91
  Jumlah              Rp260,41     Rp11,52         Rp216,00            Rp55,93
      
      %                 95,75%           4,25%           79,43%              20.57%   ________________________________________________________________
Sumber: Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI, 16 Agustus 1995 (diolah)

          Pada sisi penerimaan, sebagaimana tampak pada tabel, sekitar 95% penerimaan negara dikumpulkan oleh pemerintah pusat. Sementara pada sisi belanja, belanja negara yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah pusat meliputi sekitar 80%. UU No. 25/1999 yang baru-baru diterbitkan oleh pemerintah, secara substansial tidak banyak mengubah keadaan. Sebab berdasarkan UU tersebut, walaupun volume belanja negara yang akan di daerahkan meningkat dari sekitar 20% menjadi 35%, pengumpulan sekitar 95% penerimaan negara akan tetap dilakukan oleh pemerintah pusat (Baswir, 1999).
          Akibatnya, selain sumber-sumber penerimaan negara yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah cenderung sangat terbatas, pelaksanaan pembangunan betapa pun akan tetap sangat terkonsentrasi di seputar Jabotabek pada khususnya dan pulau Jawa pada umumnya. Khusus untuk persoalan kesenjangan desa-kota, sumber utama keterbelakangan perdesaan adalah penguasaan lahan pertanian yang cenderung sangat terbatas. Akibatnya, selain daya tawar petani Indonesia cenderung sangat lemah, proses akumulasi kapital di sektor pertanian hampir mustahil dilakukan.
          Di sisi yang lain, lembaga pertanian-perdesaan seperti Koperasi Unit Desa (KUD) yang seharusnya berperan sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat desa, dalam kenyataannya cenderung lebih berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam mengontrol masyarakat desa. Pendapat ini mungkin mengejutkan, sebab selama ini telah terlanjur berkembang citra seolah-olah KUD adalah lembaga pemerintah, bukan lembaga swadaya masyarakat.
          Kesan itu tentu sangat erat kaitannya dengan kebijakan pengembangan KUD yang ditempuh pemerintah. Selama ini, pemerintah memang jauh lebih merasa berkepentingan terhadap keberadaan KUD daripada para anggotanya. Secara lebih spesifik, berbagai aktifitas KUD selama ini lebih merupakan program yang dirumuskan dari atas daripada artikulasi kebutuhan anggota dari bawah (Baswir, 1999).
          Akibatnya, orientasi para pengurus KUD cenderung menyimpang dari yang seharusnya. Para pengurus KUD pada umumnya tidak hanya lebih merasa sebagai elit Desa, tapi mereka juga lebih merasa sebagai aparat Kantor Koperasi (Kankop) terdekat daripada sebagai pengemban kepentingan para anggota KUD. Kenyataan inilah yang menyebabkan lemahnya ikatan antara Kelompok Tani dengan KUD.
          Padahal kedua lembaga ini sebenarnya adalah sama-sama lembaga swadaya masyarakat. Baik Kelompok Tani maupun KUD seharusnya merupakan lembaga-lembaga yang terjalin secara integral dalam suatu tatanan kelembagaan ekonomi masyarakat perdesaan. Seandainya Kelompok Tani dapat berfungsi sebagai pengelompokkan para anggota KUD, maka setiap petani yang menjadi anggota Kelompok Tani dapat secara otomatis menjadi anggota KUD.
          Tapi memang di sinilah letak persoalannya. Sebagaimana Kelompok Tani, KUD pun lebih berorientasi pada penyelenggaraan program-program yang datang dari atas. Akibatnya, tidak hanya partisipasi petani dalam keanggotaan KUD cenderung sangat rendah, dalam beberapa kasus hubungan antara petani dengan para pengurus KUD justru cenderung mengarah pada saling mencurigai.
          Untuk mengatasi persoalan itu, program-program yang diselenggarakan oleh KUD di masa depan harus lebih banyak didasarkan pada aspirasi Kelompok Tani dan masyarakat desa, bukan kepentingan pemerintah. Dengan kata lain, seandainya Kankop masih tetap hendak dilibatkan dalam pengembangan KUD, posisi Kankop harus dibatasi hanya sebagai fasilitator. Hal ini tentu menuntut penyesuaian gaya kepemimpinan dalam lingkungan instansi Kankop.
          Akhirnya, bersamaan dengan lemahnya struktur pengawasan, orientasi pertumbuhan yang berlebihan itu juga telah menyebabkan semakin merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Akibat KKN yang terjadi antara sektor perbankan dengan perusahaan-perusahaan konglomerasi misalnya, tidak hanya penyaluran kredit cenderung terkonsentrasi pada grup-grup perusahaan tersebut.
          Karena hal itu diikuti pula oleh munculnya persoalan kredit macet, maka peluang untuk menanggulangi kemiskinan cenderung semakin terbatas. Bandingkanlah misalnya jumlah kerugian yang pernah dialami negara dalam kasus Bapindo-Golden Key dengan jumlah dana program IDT. Kerugian negara dalam kasus Bapindo-Golden Key seluruhnya berjumlah Rp1,7 trilyun. Sedangkan untuk melaksanakan program IDT selama tiga tahun (1994 – 1997), dana yang dibagikan kepada sekitar 20.000 desa tertinggal hanya berjumlah Rp1,3 trilyun.
          Padahal, kasus kredit bermasalah yang dialami oleh bank-bank pemerintah, yang sebagian besar terjadi karena adanya KKN tidak hanya dengan dua atau tiga debitur. Hampir seluruh praktik perkreditan di Indonesia boleh dikatakan terkait dengan berlangsungnya praktik KKN. Akibatnya, dari total kredit sekitar Rp283 trilyun yang disalurkan oleh bank-bank pemerintah hingga April 1996, kredit macet dan diragukan masing-masing berjumlah sebesar Rp9 trilyun dan Rp30,4 trilyun (Infobank No.200/1996). Kini, setelah dilanda krisis ekonomi, volume kredit macet yang dilamai oleh berbagai lembaga perbankan di Indonesia membengkak mencapai Rp600 triliun.
          Kondisi tersebut jelas mengungkapkan cukup besarnya peranan faktor struktural dalam memperburuk situasi kemiskinan di Indonesia. Upaya penanggulangan kemiskinan yang hanya bersifat karitatif dan parsial, selain sangat tergantung pada ketersediaan anggaran, mustahil dapat menanggulangi persoalan itu secara efektif. Dengan kata lain, ditempuhnya pendekatan struktural dalam menanggulangi kemiskinan, termasuk upaya untuk secara bersungguh-sungguh memerangi KKN pada tempatnya untuk mendapat perhatian. Jika tidak, situasi kemiskinan yang melanda daerah perdesaan akan cenderung semakin parah.




 Daftar Bacaan


Arief, Sritua (1993), Pemikiran Pembangunan dan Kebijakan Ekonomi, Lembaga Riset
          Pembangunan, Jakarta

Baswir, Revrisond (1999), Perimbangan Setengah Hati UU No. 25/1999, Media Interaktif        Satunet, Jakarta, edisi 13 - 19 Desember

_________________ (1999), Agenda Reformasi Koperasi, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 10 Juli

Damanhuri, Didin (1995), "Konglomerasi, Kesenjangan, dan Persaingan Global," dalam Harian Media Indonesia, Jakarta, 26 Oktober

Kasryno, Faisal dan Joseph F. Stepanek (1985), Dinamika Pembangunan Pedesaan, Yayasan     Obor, Jakarta

Meier, Gerald M. (1989), Leading Issues in Economic Development, Oxford University    Press, New York

Mubyarto dkk. (1996), Membahas Pembangunan Desa, Aditya Media, Yogyakarta

Pamungkas, Sri Bintang. (1994), Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia: Suatu Evaluasi Atas Kebijakan Pembangunan Pemerintah, makalah diseminarkan pada Diskusi Panel Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), Yogyakarta.

Infobank, No. 200/1996


Revrisond Baswir adalah Dosen Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta. Lulus dari Jurusan Akuntansi FE-UGM tahun 1983. Memperoleh gelar MBA dalam bidang General Business dari Western Michigan University, AS tahun 1991. Pada tahun 1994, mengikuti Local Government Financial Management Trainning di Institute for Local Government Studies, University of Birmingham, Inggris. Saat ini, selain menjadi direktur pada Institute of Development and Economic Analysis (IDEA), Yogyakarta, juga menjadi anggota steering committee pada Indonesia NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar