Kamis, 17 November 2011

Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian

Resume Buku: 
Judul: Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian
 

Tiga Matra Politik 
Ketiga matra tersebut adalah : Pemilu, Perilaku pemilih, dan Kepartaian. Baik secara bersamaan maupun masing-masing setiap kata akan menjadi menarik untuk di explorasitentang berbagai segi dan dimensi yang berkaitan dengannya.
Pemilu merupakan sebuah simbol yang dipakai oleh semua negara yang mengklaim dirinya demokrasi, walaupun dalam pelaksanaan makna demokrasi tersebut menjadi sangat relatif. Pemilu adalah sarana untuk membentuk perwakilan politik, dengan cara memilih para wakil yang akan duduk dilembaga perwakilan legislatif, maupun memilih pemimpin puncak eksekutif.
Perilaku memilih merupakan aktivitas warganegara berkaitan dengan penggunaan hak politiknya dalam pemilu,yang konsep umumnya berupa partisipasi pemilih. Dalam konsep partisipasi pemilih terbentang berbagai aktifitas warganegara mulai dari tahap pre-election hingga in-ilection dan pada pasca-election dengan berbagai variasi dalam kualitas dan kuantitasnya.
Sedangkan pengertian kepartaian dalam buku ini adalah sebagai sistem sekaligus aktor. Sebagai aktor artinya dalam kontek pemilu partai merupakan entitas yang saling bersainguntuk menjadi pemenang pemiludengan cara mengakumulasi sebanyak-banyaknya suara pemilih. Sementara kepertaian sebagai sistem merupakan format politik yang terbentuk sebagai akibat dari interaksi antar partai politik [asca pemilu di parlemen.

Politik Pemilu/PILKADA
Kritik yang paling sering kita jumpai dalam pelaksanaan demokrasi elektoral kita saat ini yaitu secara finansial demokrasi electoral yang kita pilih adalah sangat mahal. Baik pada tingkat nasional maupun pada tingkatan lokal sekalipun. Selain secara finansial yang tidak kalah mahal adalah dari sisi sosial dimana memilki resiko sosial yang tidak rendah, diman terjadi konflik baik horizontal maupun vertikal dimasyarakat yang diakibatkan dari hasil pemilu tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi masyarakat kita yang pada saat pelaksanaan pemilu baik lokal maupun nasional sedang barasa dalam kodisi kemiskinan akut. Sehingga besarnya biaya yang digunakan untuk palaksanaannya tidak memeberikan perubahan kesejahteraan bagi masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebur dalam buku ini diberikan alternatif pilihan bentuk pemilu, yang dimana modelnya tidak harus selalu identik dengan serba memilih langsung. Yang variasinya bisa dilakukan dalam tingkatan lokal maupun nasional.
Dalam buku ini disebutkan bahwa pemilu berada diambang kegagalan, hal ini dikarenakan dari keseluruhan pentahapan pemilu yang telah dilewati tidak satupun tahapan pemilu yang dapat dilalui dengan baik. Hampir semua tahapan yang telah dilalui selalu saja timbul masalah. Apabila tahap-tahap pemilu yang tersisa tidak dapat dilewati secara baik maka pelaksanaan pemilu 2009 terancam gagal. Gagal bukan dalam arti pemilu tidak terlaksana, tetapi gagal dalam arti pemilu yang dilaksanakan tidak mampu mencapai kualitas-kualitas yang diinginkan. Pemilu sekedar terlaksana tetapi kualitasnya dipertanyakan, dan akhirnya adalah mempertanyakan legitimasi hasil pemilu.
Pemilu merupakan sarana rakyat untuk berdaulat atas dirinya sendiri. Oleh karena itu penyelengaraan pemilu harus dilaksanakan secara berkualitas. Pemilu yang berkualitas akan meningkatkan legitimasi dan kredibilitas pemerintahan hasil pemilu. Konflik akibat ketidakpuasan hasil pemilu juga dapat ditekan karena pemilu dapat dipertanggungjawabkan secara baik kepada publik. Selain itu pemilu yang berualitas juga dapat meningkatkan partisipasi politik karena apatisme yang disebabkan oleh kecurangan dalam pemilu dapat dinetralisir.
Pemilu yang berkualitas setidaknya harus memperlakukan secara baik tiga hal, yaitu peserta pemilu (contestant), pemilih (voter), dan suara pemilih (voice). Harus dipastikan bahwa peserta pemilu adalah peserta yang  absah untuk menjadi peserta pemilu, dan tidak ada pembedaan perlakukan diantara peserta pemilu yang satu dengan yang lain.
Ditambah lagi dalam sistem pemilu kali ini memungkinkan terjadinya disproporsionalitas suara dalam pemilu legislatifnya, ini dimulai sejak 2004 dan dilanjutkan dalam sistem 2009 dimana disproporsionalitas berarti penyimpangan antara pembagian kursi partai dengan perolehan suara yang mereka dapat. Bila dibalik, maka proporsionalitas yang sempurna adalah ketika setiap partai menerima kursi yang sama dengan jumlah suara yang mereka depatkan. Pada sistem pemilu proporsional, tingkat disproporsionalitasnya lebih rendah dibandingkan sistem pemilu distrik. Rendahnya tingkat disproporsionalitas pada sistem pemilu proporsionalitas dibandingkan sistem pemilu distrik berkaitan dengan perbedaan prinsip pengalokasian kursi. Pada sistem proporsional, pengalokasian kursi partai secara teoritik berbanding lurus dengan perolehan suara partai dalam pemilu. Sementara itu, pada sistem pemilu distrik pengalokasian kursi pada dasarnya memakai prinsip ’the winner take all’.

Perilaku Pemilih
Dalam memahami konstelasi politik dalam demokrasi elektoral  adalah mengetahui bagaimana perilaku politik dari pemilih (voting behaviour/VB). Dengan mengatahui VB maka akan dapat dikatahui bagaimana kemungkinan pergeseran dan distribusi suara yang akan muncul dalam pemilu. VB di Indonesia dapat dirumuskan dalam sejumlah postulat hukum. Setidaknya ada 7 (tujuh) postulat hukum perilaku pemilih di Indonesia. Hukum-hukum perilaku pemilih di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Warna aliran dari sebuah partai politik mempengaruhi perilaku pemilih. Aliran politik di Indonesia untuk saat ini dapat dipilah dalam tiga kategori aliran, yaitu sekuler, moderat, dan agama. Perilaku pemilih akan ditentukan oleh persepsi diri mereka dalam kluster aliran tersebut dan bagaimana mereka mempersepsikan ideologi partai politik yang ada. Apabila pemilih mempersepsikan dirinya dalam kluster aliran sekuler maka pilihan politiknya akan jatuh pada partai yang berada pada kluster sekuler, dan sebagainya.  Pemilih yang berada dalam suatu kluster aliran tertentu sangat kecil kemungkinannya untuk memilih partai diluar kluster dimana ia berada.
  2. Partai dengan spektrum ideologi ekstrim tidak akan mendapatkan dukungan pemilih dalam jumlah yang signifikan. Secara linier spektrum ideologi berada dalam kutub fundamentalis sekuler dan fundamentalis agama. Mereka yang berada dalam kedua kutub ekstrim tersebut tidak akan mendapatkan dukungan dari pemilih. Pemilih pada dua kutub ekstrim tersebut adalah minoritas. Partai yang mendeklarasikan dirinya dalam posisi ini akan terlikuidasi dengan sendirinya.
  3. Partai dengan spektrum ideologi tengah atau moderat mendapatkan dukungan yang besar dari pemilih. Hukum ketiga ini merupakan anti tesis hukum kedua dari perilaku pemilih di Indonesia. Partai-partai dengan ideologi moderat memiliki modal dasar untuk mendapatkan dukungan besar dari pemilih. Untuk mengaktualkan potensi itu partai-partai tengah/moderat hanya perlu memoles organisasinya untuk dapat dikenal publik secara luas.
  4. Sirkulasi suara pemilih hanya berputar dalam lingkup spektrum ideologi yang sama. Kalau terjadi suara yang berpindah (swing voter) maka perpindahan suara pemilih tidak akan melintasi klaster ideologi yang ada.  Peningkatan perolehan suara sebuah partai hanya akan mengurangi perolehan suara partai lain dalam kluster yang sama. Dengan kata lain, naik-turun perolehan suara partai adalah proses menambah dan mengurangi perolehan suara partai dalam kluster yang sama. Kanibalisme terjadi diantara partai-partai dalam kluster ideologi yang sama. Kanibalisme tidak terjadi melintasi kluster-kluster ideologi.
  5. Perilaku pemilih yang melintas batas kluster ideologi dapat terjadi pada suara pemilih protes (protest voter). Pemilih protes merupakan bentuk ekpresi politik dalam situasi yang tidak normal. Pemilih protes ini muncul diantaranya akibat dari konflik internal partai maupun perlakuan tidak adil penguasa terhadap sebuah partai politik tertentu. Perilaku pemilih menyeberangi lintas batas kluster ideologi sebagai pelampiasan atas situasi tersebut.
  6. Ketokohan partai mampu mendongkrak perolehan suara partai. Ketokohan partai adalah magnet partai. Perilaku pemilih dapat berubah terkait dengan eksistensi pemimpin dan kepemimpinan partai. Apabila di dalam partai terdapat tokoh yang berwibawa dan disegani maka pemilih akan cenderung memilih partai dengan ketokohan partai yang jelas. Apabila partai politik tidak memiliki tokoh sentral maka daya magnetik partai akan berkurang.
  7. Penistaan terhadap seorang tokoh atau partai akan melahirkan simpati pemilih untuk memberikan suara kepada tokoh atau partai tersebut. Partai-partai dengan tokoh yang dinistakan oleh lawan politik akan mendapatkan simpati pemilih. Sebaliknya, partai atau tokoh yang agresif atau menistakan lawan politiknya atau tidak santun dengan lawan politiknya cenderung akan dijauhi pemilih.
Politik Kepartaian
Bagaimana kira-kira wajah partai politik di parlemen hasil dari pemilu 2009 ini? Apakah pemilu kali ini dapat melahirkan wakil rakyat sebagai anti tesis parlemen hasil pemilu 2004, atau terjadi repetisi perilaku parlemen dari parlemen-parlemen periode sebelumnya ?
Dalam buku ini ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi wajah parlemen kedepan meliputi pemanfaatan peluang sistem pemilu, besaran biaya politik, motivasi berpolitik, dan tipe aktivis partai yang terpilih. Beberapa faktor tersebut secara simultan maupun terpisah akan mempengaruhi rona wajah parlemen.
Menjawab pertanyaan tentang wajah parlemen kedepan, terdapat beberapa posisi pendapat yang dapat diletakkan sebagai sebuah spektrum. Pertama, kelompok nihilis-pesimistik.  Kelompok ini melihat bahwa demokrasi presedural dengan biaya yang sangat mahal ini tidak akan membawa perubahan sama sekali terhadap wajah partai politik di parlemen. Kalaupun terjadi perbaikan masih sangat minimal. Kedua, kelompok optimistik. Kelompok ini melihat bahwa berbagai perubahan yang terjadi dalam proses rekruitmen elit dan lingkungan politik menjadikan parlemen akan dapat berperan lebih baik dibandingkan parlemen pada periode sebelumnya. Pada proses rekruitmen elit, kelompok ini melihat bahwa aturan main dalam pemilu memungkinkan terpilihnya wakil rakyat yang berpihak kepada rakyat. Terakhir, kelompok kritis. Kelompok ini melihat bahwa peluang parlemen hasil pemilu 2009 untuk menjadi lebih baik dan menjadi lebih buruk berada pada probabilitas yang sama.
Peluang mana yang lebih besar akan terjadi sangat tergantung sejauhmana sejumlah faktor bekerja mempengaruhi parlemen yang akan terbentuk. Beberapa faktor tersebut secara simultan maupun terpisah akan mempengaruhi rona wajah parlemen.
Pertama, pemanfaatan peluang sistem pemilu untuk mendapatkan wakil rakyat yang berkualitas. Satu modal dasar yang tidak dimiliki oleh parlemen sebelumnya dibandingkan parlemen hasil pemilu 2009 adalah wakil rakyat yang nantinya terpilih adalah wakil rakyat yang benar-benar pilihan rakyat.
Kedua, besaran biaya politik. Kompetisi elektoral dalam pemilu kali ini berlangsung sangat ketat. Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak menjadikan rivalitas tidak hanya terjadi di inter-partai politik tetapi juga intra-partai politik. Masing-masing kandidat sekarang memiliki posisi sejajar untuk dapat memenangkan kompetisi.
Ketiga, motif berpolitik. Motif berpolitik dapat menentukan wajah parlemen ke depan. Motif yang tidak tepat akan semakin memperburuk kinerja parlemen. Sebaliknya, motif yang benar dapat menjadi pendorong meningkatnya kualitas kerja parlemen.
Motif utama aktivis partai masuk dalam kandidasi dapat dipilah ke dalam beberapa motif. Pertama, insentif material (Material Incentives). Insentif ini meliputi motif mencari perlindungan (patronage), menjadi pejabat yang dipilih (elected office), dan naik pangkat atau memperoleh kedudukan yang lebih tinggi (preferment). Kedua, insentif solidaritas (Solidarity/Social Incentives), yaitu mencari kehidupan sosial baru dari yang selama ini mereka miliki. Ketiga, insentif idealisme (Purposive/Issued-Based Insentives), yaitu keinginan untuk memperjuangkan sesuatu yang bersifat ideal. Terakhir, Insentif campuran (Mix Incentives), yaitu pembauran beberapa insentif yang telah disebutkan sebelumnya menjadi saling bertautan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar