Kamis, 17 November 2011

Strategi Politik-Kebijakan Membangun Desa


Strategi Politik-Kebijakan
Peluang dan Tantangan Membangun Pemerintah Daerah dari Desa
Oleh: SYARIEF ARY FA'ID
     A.   Pendahuluan
Mengenal Desa dari Urbanisasi; Potret Gagalnya Negara Membangun Desa



Tingginya angka kemiskinan di desa, selain memberikan gambaran tentang salah urus dalam membangun desa, juga mengisyaratkan  adanya efek domino terhadap  meningkatnya angka urbanisasi dari tahun ke tahun.  Urbanisasi menjadi satu pilihan yang dilakukan oleh warga desa untuk  keluar dari jejaring kemiskinan dan keterbelakangan sebagai akibat salah urus tersebut. Karena salah urus-pula sehingga pemahaman daerah maju dan tertinggal, daerah kota dan desa mengelami distorsi, yaitu kota itu selalu diimajinasikan maju, berkembang, sedangkan desa itu diposisikan tertinggal dan udik. Sehingga kota selalu dimaknai sebagai jalan untuk memperbaiki hidup. Tentu pemahaman ini relefan bagi masyarakat desa, karena kondisi empirik menunjukan hal tersebut.
Sentralisasi dan uniformity perencanaan pembangunan nasional selama  32 tahun tentu berdampak pada kesenjangan hasil pembangunan, yang lebih menitikberatkan pada wilayah perkotaan. Dan hal ini berakibat paralel dengan anggapan masyarakat desa bahwa kota merupakan tempatnya untuk mencari kemakmuran dan kesejahteraan hidup.  Data Litbang Ketrasmigrasian  tahun 2003 mencatat bahwa sejak tahun 1980, sampai tahun 2000, misalnya; mengisaratkan adanya peningkatan angka urbanisasi di Indonesia (22,3% pada tahun 1980, menjadi 30,9% pada tahun 1990, meningkat 34,3% pada 1994 dan menjadi 42,0% pada tahun 2000. Jadi dalam kurun waktu 20 tahun, peningkatan persentase penduduk kota mencapai lebih dari 163% secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota 32,845 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000 atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980 menjadi 42,0 pada tahun 2000. (Litbang Ketransmigrasian, 2003).
 Dan pada tahun 2007, State of World Population, merilis bahwa  lebih dari separuh (3,3 miliar) penduduk di muka bumi akan hidup di wilayah perkotaan dan melakukan urbanisasi besar-besaran. Pertumbuhan populasi yang pesat ini terutama terjadi di negara berkembang (State of World Population 2007).
Artinya bahwa ada kecenderungan warga desa melakukan urbanisasi  untuk mencari kehidupan yang lebih baik, karena secara empirik, perbedaan pertumbuhan ekonomi desa dan kota sangat jauh. Meminjam Michael P. Todaro (1978) untuk melihat fenomena urbanisasi dari pendekatan ekonomi menyebutkan, bahwa perbedaan upah antara desa dan kota sebagai variabel dominan yang mempengaruhi arus urbanisasi. Di Indonesia, variabel ekonomi sangat dominan, terbatasnya lapangan pekerjaan serta terbatas akses warga desa terhadap pasar untuk menjual hasil pertaniannya, semakin mendorong terjadinya urbanisasi. Inilah yang kemudian oleh Michael Lipton (1977) mengatakan, orang melakukan urbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).
Kondisi ini tentu saja disebabkan oleh beberapa faktor; Pertama, “salah urus” dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan nasional dan pembangun desa berimplikasi pada ketidak seimbangan pertumbuhan ekonomi ditingkat desa dan kota, dan desa hanya menjadi basis penyangga pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, dan warga desa dalam kondisi “tertekan” melakukan kegiatan urbanisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya sembari membangun desa dari hasil kerja di kota. Ketiga negara tidak responsible membangun desa, tetapi lebih respon terhadap program-program pembangunan desa, sehingga terjebak pada desain kotanisasi desa, dan modernisasi desa. (baca berbagai project sektoral pemerintah pusat melalui berbagai departemen)
Memahami Desa
Dalam pengertian sosiologis, desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogeny (sama) serta banyak tergantung pada alam (Maschab, 1992). Lebih jauh ia menyebutkan bahwa dalam pengertian sosiologis desa diasosiasikan dengan masyarakat yang lebih sederhana, pada umumnya hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial, adat istiadat dan tradisi masih kuat sifat jujur dan bersahaja, pendidikan yang relatif rendah dan lain sebagainya.
Gambaran tersebut, pada dasarnya menonjolkan desa selain memuat segi-segi dan sifat positif, seperti kebersamaan dan kejujuran, namun dipandang pula mengandung ciri negatif, seperti kebodohan dan keterbelakangan, seperti sebagian buta huruf, masyarakat bertani, masih belum mengenal teknologi tinggi dan masih menggunakan bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia, masih menjadi citra desa.
Pandangan (sosial) ekonomi yang menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai komunitas yang memiliki model produksi yang khas (Wiradi, 1988). Desa mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dan saling ketergantungan yang besar dibidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga bersama (Hayami Kikuchi. 1987:11)
Dilihat dari sudut pandang hukum dan politik yang lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, desa dipahami sebagai suatu wilayah kesatuan hukum dimana bertempat tinggalnya suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri (Kartohadikoesoemo, 1984: 16, Wiradi, 1988). Pengertian ini sangat menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa, hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa bukan oleh fihak luar.
Lahinya UU Nol.32/2004 memberikan sedikit keuntungan yang harus segera di manfaatkan desa adalah keberadaan dana alokasi untuk desa (DAD).  Namun implementasi dana alokasi tersebut masih bergantung pada kebaikan hati pemerintahan kabupaten. Kalau saja setiap kabupaten mengalokasikan secara jelas anggaran melalui ADD tersebut yang kemudian didukung oleh kebijakan-kebijakan yang pro pada kepentingan masyarakat desa, lebih khusus pada pengembangan sektor pertanian, maka bukan sesuatu yang mustahil, desa akan menjadi fondasi utama dalam memajukan kabupaten dan bahkan Negara. Dibutuhkan kerjasama erat antar elemen desa dan supra desa guna menuntut terjadinya perubahan paradigma pendekatan pembangunan kawasan pedesaan. Tentu hal ini melalui perjuangan dua arah yaitu penguatan kapasitas SDM desa serta memasukan desa dalam konstitusi Negara (semisal Desa masuk dalam APBN), termasuk mengembalikan hak desa sebagai wujud dari perimbangan antara pusat dan daerah.
 

B.    Pembahasan
B.1. Memahami  Pentingnya Membangunan Desa

Membangun desa merupakan segenap usaha dan upaya secara sadar dan terncana yang dilakukan oleh masyarakat bekerjasama dengan pemerintah dalam rangka mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat desa yang sejahterah, adil, makmur dan demokratis. Dimana masyarakat desa tidak mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai kebutuhan pokoknya serta mendapatkan pelayanan publik yang baik dari pemerintah.
Pentingnya membangun desa, sebab semenjak jaman dahulu, masyarakat desa, selalu menjadi basis domain dari relasi kekuatan dan kekuasaan eksternal dalam sistem negara dan pembangunan nasional. Dimana dalam relasi tersebut, desa berada pada garis paling bawah dari sebuah sirkulasi sosial, ekonomi dan politik negara yang tereksploitasi segala resource dan sumberdaya yang dimilikinya. Desa-desa di Indonesia seringkali hanya menjadi subordinat (bagian terkecil dan pelengkap) dari sebuah sistem administrasi pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah.
Inilah salah satu ciri khas kegagalan ideologi developmentalisme di Indonesia (ideologi pembangunan terpusat). Yang lebih menekankan pemaksaan pertumbuhan ekonomi, tetapi lupa terhadap substansi membangun desa, yaitu memberikan kewenangan (otonomi), menjamin serta memfasilitasi kewenangan tersebut, sehingga masyarakat desa memiliki sens of belonging terhadap kemajuan dan perubahan atas desanya.  Dari  satu rezim ke rezim yang lain, ”salah urus” terhadap desa masih dilakukan, sehingga relasi yang terbentuk antara desa dan negara lebih bersifat subordinate, yang menempatkan desa sebagai obyek dari proyek pembangunan negara. Fakta menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat kita bermukim di desa, dan secara empirik dari data BPS menggambarkan bahwa persoalan kemiskinan terbesar ada di desa.
Dari data kemiskinan hasil sensus nasional tahun 2003 misalnya,  sebanyak 63,4% penduduk miskin berada di perdesaan. Dan data Susenas tahun 2004 menunjukan  peningkatan yaitu diperkirakan mencapai 69%, yang sebagian besar bekerja disektor pertanian. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, terdapat  sekitar 20.633 diantaranya masuk dalam kategori desa miskin. Demikian halnya pada aspek pendidikan, dimana penduduk desa di Indonesia merupakan penghuni tertinggi angka buta aksara, yaitu sekitar 13,8%, sedangkan wilayah perkotaan hanya 5,49% penduduk yang masuk dalam kategori buta aksara.  Artinya bahwa desa merupakan wilayah yang rentan terhadap dampak kemiskinan sebagai akibat dari salah urus.
Akibat dari  perencanaan pembangunan nasional yang masih spasial dan sektoral terhadap desa adalah terjadinya  kemiskinan struktural. Meminjam kajian Mc. Arthur dan Sachs (2001) tentang letak geografis sebagai penyebab kemiskinan, maka UU No. 5/2005 merupakan bentuk ”salah urus” dalam membangun desa-desa di Indonesia.  Perbedaan letak secara geografis desa-desa di Indonesia, semestinya memerlukan diferensiasi perencanaan dan penanganan desa-desa yang dilabelkan miskin dan tertinggal.

B.2. Konsep Membangun Desa

Membangun desa tentu saja bukan sekedar slogan dan seruan. Membangun desa adalah suatu tindakan terencana dan terukur. Dibutuhkan kemauan dan kemampuan politik elit (pemimpin pemerintahan) yang berkerja secara sistematis (bersama masyarakat), dan menjadi garda terdepan dalam menggerakan seluruh perangkat birokrasi dalam mengimplementasikan kebijakan membangun desa dengan prinsip bottom up planing (perencanaan pembangunan berbasis pada masyarakat desa)
Pilihan strategi pembangunan desa pada era reformasi, belum menemukan roh yang jelas dalam mengangkat harkat dan marbatan masyarakat desa. Lagi-lagi desa masih menjadi street level beucratic dalam sebuah piramida sistem perencenaan dan penyelenggaraan pembangunan nasional. Akibatnya adalah desa-desa di Indonesia diletakan pada posisi masalah dan bukan ditempatkan sebagai penyelesai masalah dalam konteks pembangunan nasional. Kegagalan penerapan ideology developmentalisme rezim orde baru, tidakserta merta dijadikan basis evaluasi dalam melaksanakan kebijakan pembangunan desa. Dan justru pemerintah melakukan eksperimen baru dari penerapan ideology developmentalisme melalui pelaksanaan program-program pembangunan desa dalam skema “pro poor”.  Jika ini terus dilakukan maka hasil dari program pro poor tersebut, hanya akan merubah angka statistik soal pesentase kemiskinan dengan indikator-indikator makro. Dan angka-angka tersebut sangat rentan untuk naik dan turun mengikuti keinginan pemilik program  (penguasa).
Bila dianalisis  saat kebijakan dan program pembangunan desa sangat politis, hal ini dapat dibaca pada konstelasi politik nasional menjelang pemilu 2009, dimana rebutan klaim soal “keberhasilan program BLT, Raskin, Akseskin” adalah indikator penting dari skema pembangunan pro poor yang mengalami politisasi. Hal tersebut  memang bukan sesuatu yang “tabu” dilakukan oleh pengambil kebijakan (penguasa), akan tetapi bila semua strategi kebijakan pembangunan nasional lebih didasarkan pada skema stabilitas politik penguasa, bukan hal yang mustahil masyarakat akan mengalami periode ketergantungan baru terhadap negara. Hal ini diperparah lagi dengan strategi membangun desa masih  ditempatkan dalam dimensi “pembangunan daerah” dan bukan pada dimensi “membangun desa (baca UU No. 25/2005). Artinya bahwa kebijakan pembangunan desa akan sangat tergantung pada aspek distrubusi politik, ekonomi serta kebaikan politik di tingkat pemerintahan kabupaten.
B.3. Langkah Startegis membangun Desa
Demikian halnya soal strategi memberikan berbagai kewenangan dan keuangan kepada desa (PP.72/2005 dan ADD), tentu itu merupakan hal penting dilakukan oleh pemerintah pusat, dan juga pemerintah daerah. Namun demikian itu saja tidak cukup dalam membangun desa, agar desa keluar dari kemiskinan dan ketertinggalan. Bila kita merujuk pada keberhasilan penerapan developmental state dikawasan Asia Timur (terlepas dari pro-kontra soal kegagalannya), khususnya Jepang dan Korea Selatan, bila kita kontekskan dalam membangun desa, mengutip Johnson’s Formulation (Pei-Shan Lee, 2002), maka developmental state membangun desa harus mencakup beberapa karakteristik. Pertama, pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat harus memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi ditingkat pedesaan dan bagi masyarakat desa. Tujuanya adalah agar pemerataan pembangunan dapat dimulai dari level desa, apalagi dalam konteks negara kita merupakan negara agraris, yang sebagian besar penduduk dan kemiskinan ada di level desa. Maka  pemerintah tidak saja membuat program-program pro poor, akan tetapi menjadikan desa sebagai basis pembangunan nasional dengan menggerakan sektor pertanian. Dan sebaliknya dari konsumsi dan distribusi sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara.
Kedua, merekrut dan mendistribusikan aparat birokrasi ekonomi dan tenaga pendamping desa yang bertalenta tinggi, kohesif, dan disiplin dengan basis merit system, sehingga upaya-upaya implementasi kebijakan membangun desa dapat berjalan on the track. Ketiga, pemerintah daerah (otonom) dapat mengkonsentrasikan talenta birokrasi, ke dalam lembaga sentral khusus seperti SKPD yang memiliki tupoksi langsung terhadap membangun desa yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industri pedesaan yang berbasis pada optimalisasi potensi desa (SDM dan SDA). Hal ini sekaligus menjadi otokritik terhadap banyaknya program-program yang bersifat spasial dan sektoral yang dilakukan pemerintah saat ini.
Keempat, melembagakan hubungan antar-birokrasi desa dengan elit bisnis lokal (secara langsung) dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting berdasarkan pembuatan kebijakan yang efektif, dan sesuai kemampuan pemerintah desa. Dimana pemerintah daerah mengambil peran sebagai mediator, sekaligus protector apabila dalam hubungan kerjasam tersebut merugikan pihak desa. Kelima, Pemerintah daerah melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan lainnya, dari supra desa dalam bentuk regulasi (perda). Dimana  perlindungan tersebut bertujuan agar desa memiliki bargaining position yang kuat dalam membangun dan melakukan kerjasama dengan pihak lain supra desa.
Keenam, Mengimplementasikan kebijakan pembangunan desa dengan kombinasi jaringan kerja pemerintah dan pemerintah daerah dengan dunia industrial dan kontrol publik atas sumber daya-sumber daya, seperti keuangan.
B.4. Skema dan Strategi Membangun Desa
Skema membangun desa dalam konteks otonomi daerah adalah: pertama, pemerintah daerah (tingkat kabupaten), harus melakukan pemetaan secara komprehensif tentang berbagai potensi desa (sosial, ekonomi, politik, dan budaya) yang disertai dengan pemetaan masalah yang dihadapi desa. Proses pemetaan ini harus dilakukan secara partisipatif (melibatkan masyaralat desa). Kedua, setalah mengetahui hasil pemetaan (potensi dan masalah), pemerintah harus melakukan klasifikasi desa-desa tersebut dalam tiga kelompok, yaitu desa, pertanian, desa wisata, dan desa nelayan. Hal ini tentu saja sesuai dengan topografi wilayah pemerintah tersebut. Ketiga; memasukan hasil pemetaan dan klasifikasi desa tersebut dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Penguatan kapasitas pemerintahan desa harusnya dijadikan pokok pemikiran sebagai imbas munculnya isu desentralisasi. Ide kegiatan ini juga mendorong perluasan ruang belajar dari pemerintahan desa dalam pengelolaan pemerintahannya. Sejauh ini, ruang ini masih cukup sempit untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan desa dalam isu nasional.
Perluasan akses ini bukan hanya di tujukan kepada pemerintahan pusat, akses masyarakat desa ini juga penting kepada jaringan pendidikan, kesehatan dan pertanian  serta sector lain yang bersinggungan dengan desa.  Strategi bagi penguatan peranan desa dapat dilakukan melalui analisis isu utama dan isu fungsional dalam skema William N. Dunn (1995: 100). Sebagai isu utama, perlu dilakukan terobosan konstitusional untuk memberikan bingkai konstitusional bagi makna otonomi desa. Hal ini berarti diperlukan langkah langkah-langkah strategis secara berkelanjutan untuk mendesakkan agenda amandemen konstitusi, dengan menskenariokan otonomi desa ke dalam konstitusi.
          Salah satu metode untuk menggerakan arah perubahan dari bawah adalah melalui penguatan partisipasi dan kapasitas rakyat desa. Sepakat dengan Mahardika (2001: 79-80), partisipasi baru yang hendak dikembangkan didasarkan pada pemahaman bahwa rakyat memiliki hak penuh untuk menentukan hitam dan putihnya negara – rakyat memiliki hak penuh untuk menentukan arah gerak negara dan kinerja pemerintah. Hak tersebut terkait langsung dengan eksistensi rakyat dalam skema kenegaraan. Oleh sebab itu, sejak awal harus disadari bahwa suatu pemerintahan ada karena ada rakyat, dan bukan sebaliknya.  Pengembangan partisipasi rakyat membutuhkan dua langkah sekaligus, yakni: (1). Memperkuat kapasitas kritis masyarakat dan (2). Memperkuat kelembagaan yang ada.
          Strategi yang mungkin dilakukan untuk melakukan suatu “perlawanan” terhadap kembalinya kekuasaan negara di desa dapat dilakukan melalui: (1). Penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan desa sambil melakukan “tawar menawar” secara kritis dengan negara untuk membuka kembali konsep zelfbesturende landschappen;  (2). Strategi uji materiil (judicial review) melalui Mahkamah Konstitusi menurut UU No. 24 Tahun 2003, mengingat adanya contradictio in terminis dalam pasal 209 UU No. 32/2004 dengan penjelasan angka 10 UU yang sama, yang mewacanakan otonomi desa dengan landasan pemikiran keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat; dan (3). Strategi penguatan kapasitas kritis masyarakat untuk mengontrol dinamika tarik ulur kewenangan daerah dan desa dalam skema desentralisasi.
          Penguatan kapasitas kelembagaan desa perlu didukung oleh pembiayaan yang memadai. Selain skenario DAU – Desa guna memberdayakan masyarakat pedesaan (Juliantara, 2003: 98-101), dapat dipikirkan pula penarikan PAD melalui desa (horizontal strategy) sebagaimana diusulkan oleh Heru Sulistyo (Suara Merdeka, 4/11/2004). Hal iitu dapat mendorong desa menggali sumber pendapatan asli desa, memperkuat desa sebagai basis ketahanan pembangunan daerah, mempercepat laju perkembangan dan kemajuan desa, serta berkembangnya partisipasi masyarakat secara optimal.
Peningkatan kemampuan daerah dalam hal keuangan, sejalan dengan makin meningkatnya Dana Alokasi Umum (DAU dan Alokasi dana Desa (ADD))-- belum cukup memadai untuk menjamin kelancaran pembagian urusan pemerintahan dalam hal membangun desa.  Selain itu, kemampuan kelembagaan (institutional capability) pemerintah daerah untuk mengelola pengembangan dan membangun desa sejalan dengan prinsip-prinsip public good governance masih perlu ditingkatkan yang memberi ruang bagi terakomodasinya partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan.
Kesimpulan
      Desa-desa di negeri ini mayoritas penghasil tanaman pangan, baik itu beras, jagung, umbi-umbian, dan berbagai jenis tanamana pertanianya lainnya. Tentu ini merupakan potensi besar dalm mempercepat proses membangun desa. Maka untuk menuju kerah tersebut, dibutuhkan ketersediaan dan kesiapan infrasturkutur dan suprasturktur pertanian yang memadai, agar masyarakat petani bisa lebih optimal memproduksi hasil pertaniannya.
Peran ketersediaan sumber daya iar (khususnya air irigasi) sangat dominan dalam pencapaian produksi pertanian yang optimal. Pengalaman pencapaian swasembada beras telah menunjukkan pentingnya peran penyediaan air irigasi melalui pembangunan jaringan-jaringan irigasi selama periode tersebut. Air sebagai salah satu faktor input produksi pangan memberikan kontribusi yang signifikan; bahkan dalam hal penyediaan beras, fluktuasi ketersediaan air pada fase vegetatif dan generatif akan mempengaruhi produktivitas tanaman.
Pengamanan lahan sawah di daerah irigasi serta optimalisasi dan perluasan areal pertanian merupakan hal-hal yang harus dilakukan untuk pengamanan ketersediaan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Namun demikian, upaya ini menghadapi tantangan-tantangan: (a) alih fungsi lahan beririgasi pada daerah lumbung pangan nasional yang cenderung semakin luas;  (b) sekitar 30 persen jaringan irigasi yang telah dibangun memerlukan rehabilitasi terutama di daerah-daerah penghasil beras nasional; (c) sekitar 1,67 juta hektar command area sistem irigasi yang telah dibangun tidak atau masih belum berfungsi karena belum lengkapnya sistem jaringan, ketidaktersediaan air, belum siapnya lahan sawah, ketidaksiapan petani penggarap, atau terjadinya mutasi lahan; dan (d) lemahnya pengelolaan dan diskontinuitas dalam pemeliharaan sarana irigasi serta (e) partisipasi masyarakat petani dalam pembangunan dan pengelolaan irigasi masih belum optimal.
Dalam Dokumen RPJM pada Tahun 2004-2009 Pemerintah pusat, telah menetapkan bahwa salah satu program prioritas Pemerintah adalah Program Pengembangan dan Pengelolaan Lahan Pertanian, yang kemudian diikuti oleh kebijakan “lahan Pertanian Abadi”.  Program ini ditujukan untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan lahan pertanian dan peningkatan produksi hasil pertanian guna mewujudkan dua hal: yaitu petani yang makmur dan tercapainya swasembada beras nasional dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu dalam konteks otonomi daerah, membangunan desa harus diintegrasikan dengan membangun desa dari petani, dengan menyediakan infrastruktur pertanian (sumber daya air dan irigasi).
Agenda dan program tersebut di atas, tentu saja harus menjadi bagian penting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah bagi seluruh pemerintah daerah, dengan menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat desa merupakan kegiatan prioritas utama oleh pemerintah daerah. Hal ini kemudian diperkuat dengan program pengembangan dan pengelolaan desa pertanian yang mengkolaborasi  pertanian tradisonal dan petanian berbasis tekonologi tepat guna. Program desa petani ini didasarkan pada prinsip satu sistem membangun pemerintah daera dari desa serta didukung dengan: (a) pengaturan kembali tugas, wewenang, dan tanggung jawab kelembagaan Desa (otonomi desa) (b) Regulasi yang jelas (c) pemberdayaan petani serta (c) penyempurnaan sistem pembiayaan pengembangan dan pengelolaan desa petani untuk mewujudkan keberlanjutan sistem membangun Mabar dari Desa.
       Strategi Kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Desa Wisata/Pariwisata
Membangun pemerintah daerah dari Desa, harus di posisikan dengan membangun desa. Maka proses pengembangan dan pengelolaan pembangunan daerah diartikan sebagai penyelenggaraan kegiatan pembangunan desa berbasis peran serta masyarakat sesuai dengan karakteristik desa-desa yang di negeri ini..  Pemerintah harus sedini mungkin melibatkan  masyarakat sejak pemikiran awal sampai dengan pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan pada tahapan perencanaan, pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan, dan evaluasi.
Dalam upaya mewujudkan program Desa wisata/desa pariwisata secara berkesinambungan, pemerintah daerah harus menyusun beberapa Kebijakan dan regulasi yang diharapkan menjadi pedoman implementasi di lapangan. Pedoman tersebut antara lain: (a) Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Desa Wisata (Partisipatif); (b) Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Sadar Wisata (c) Pedoman Pengaturan Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Desa Wisata, Dinas pariwisata; (d) Pedoman Pembiayaan Pengelolaan  Desa Wisata (promosi, dll) (e) Pedoman Pembentukan dan Penyelenggaraan Forum Kerjasama antar desa dan antar daerah tujuan wisata.
Untuk menjamin pengelolaan desa wisata, maka kelembagaan pengelolaan desa wisata yang meliputi instansi pemerintah, perkumpulan masyarakat sadar wisata, dan pihak swasta harus didayagunakan. Khusus untuk desa wisata dan Perkumpulan masyarakat sadar wisata harus dibentuk secara demokratis pada setiap desa



Daftar Pustaka

 
Bayu Suryaningrat, 1980, Organisasi Pemerintahn Wilayah atau Daerah, Penerbit Aksara Baru, Jakarta
Budiharjo, Miriam, 1989, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit Gramedia Jakarta.
Cardoso Gomes, Faustion, 2001, Manajemn Sumber Daya Manusia, Penerbit Andi, Yogyakarta
C.S.T. Kansil, 1991, Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Rineka Cipta, Jakarta
Djiwandono, Soedjati dan T.A. Legowo, 1996, Revitalisasi Sisitem Politik Indonesia, penerbit CSIS, Jakarta
Dadang Juliantara:, 2003, Pembaharuan Desa; bertumpu pada yang terbawah, Penerbit, LAPERA Indonesia, Jogjakarta
Dadang Juliantara, dkk, 2006, Desentralisasi Kerakyatan; Gagasan dan Praksis, penerbit, Pondok Edukasi, Jogjakarta
Dadang Juliantara,  2004, Pembaruan Kabupaten: Arah realisasi otonomi Daerah, Penerbit Pustaka Pembaruan, Jogjakarta
Eko, Sutoro, Jaka Tridarwanta, Triyanto P, 2000, Diktat Kuliah Sistem Politik Indonesia, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, Yogyakarta
Gaffar, Afan, Abdul Gafar karim, 1997, Negara dan Civil Society, Diktat kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fak. Sospol UGM Yogyakarta
Hadari Nawawi, 1989, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Airlangga, Jakarta
Purnomo, Mangku, dkk, 2003, Strategi pembangunan Pertanian: sebuah pemikiran, penerbit, Lapera Pustaka Utama, Jogjakarta
Purnomo, Mangku, 2004, Pembaruan Desa: mencari bentuk Pentaan Produksi Desa, Penerbit, Lapera Pustaka Utama, Jogjakarta
Purwosantoso, 2002, Merubah Watak Negara: Startegi Penguatan Partisipasi Desa, Penerbit, Lapera Pustaka Utama, Jogjakarta
Riwo Kaho, Yoseph, 1985, Prospek Otonomi Daerah di Negara RI, Rajawali Press, Jakarta
Sanit, Arbi, 1985, Sistem Politik Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta.
Sujito, Irawan, 1989, Tehnik Membuat Peraturan Derah, Bina Aksara, Jakarta.
Sondang , P . Siagian , 1983,  Administrasi Pembangunan , Gunung Agung , Jakarta
Timur Marahdika, 2001, Strategi Tiga Kaki: dari Pintu otonomi Daerah Menggapai
 Keadilan Sosial, LAPERA Pustaka Utama, Jogjakarta

UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar