Senin, 05 Desember 2011

OTONOMI DAERAH : KONSEP, FILOSOFIS DAN REALITASNYA
Oleh: IR. A. YANI
Pengembangan kewenangan daerah di era otonomi daerah dan desentralisasi, disatu dimensi dapat melahirkan penciptaan peluang optimalisasi potensi daerah dan pada dimensi lain juga dapat memunculkan tantangan-tantangan pada pembangunan dan pengelolaan lokal. Peluang-peluang tersebut antara lain meningkatkan efisiensi alokatif, memperbaiki daya saing pemerintah dan mendorong inovasi, karena pemerintah daerah dapat lebih banyak menangkap aspirasi daerah dalam bersikap pemenuhan keinginan masyarakatnya, mendorong akuntabilitas, transparansi dan memperluas partisipasi publik dalam pengambilan keputusan di level daerah, memperbaiki dan memobilisasi pendapatan regional dan peningkatan pemerataan, desain program transfer antar pemerintah yang dapat memindahkan sumber daya ke daerah miskin , sehiungga dapat menjamin penduduk dalam memperoleh pelayanan publik yang
minimum.
Pemunculan tantangan-tantangan pada pembangunan dan pengelolaan perekonomian lokal, berupa meningkatnya tekanan terhadap pemerintah daerah untuk memfasilitasi investasi, karena hal ini terkait dengan semakin ketatnya persaingan untuk memperebutkan investor tidak hanya dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, tetapi juga daerah-daerah lain di dunia Internasional, kebutuhan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik, meningkatnya kebutuhan untuk melakukan aliansi ekonomi regional strategis untuk pembangunan infrastruktur lintas wilayah yurisdiksi.

Otonomi Daerah dalam implementasinya menuntut akselerasi peningkatan kualitas SDM pada setiap level
pemerintahan daerah demi terciptanya keselarasan pembangunan daerah dengan perencanaan makro nasional, keselarasan penetapan prioritas pembangunan daerah dengan aspirasi masyarakat dan tercapainya akuntabilitas anggaran keuangan daerah.

Desentralisasi dan Implikasinya
Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan pemerintah pusat melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih rendah yang mandiri yang bersifat otonomi. Desentralisasi bukan sekadar pemencaran kewenangan, tetapi juga kekuasaan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintah Negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintah tingkat lebih rendah.
Sistem desentralisasi mengandung makna pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat didaerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, melatih diri menggunakan hak yang seimbang dengan kewajiban masyarakat yang demokratis.
Dari kompleksitas kondisional yang dihadapi dan tantangan dalam pelaksanaanya, desentraliasi atau otonomi daerah dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan dapat menunjukkan satuan-satuan otonomi daerah lebih flesksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat, satuan-satuan otonomi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan lebih efisien, satuan-satuan otonomi lebih inovatif dan satuan-satuan otonomi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi serta komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Dengan demikian, otonomi daerah secara rasionalitas akan membawa sejumlah manfaat baik bagi masyarakat di daerah maupun pemerintahan nasional, karena merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan --perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja dilapangan dan tahu betul masalah yang dihadapinya masyarakat. Dengan desentralisasi perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen.
Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat, tingkat pemahaman serta sensitifitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat setempat yang memungkin kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang lebih baik, sehingga akan mengakibatkan perumusan kebijaksanaan yang lebih realistis dari pemerintah.
Desentralisasi akan terjadi penetrasi yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, yang mana acap kali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elit lokal dan dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
Kondisi ini juga memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah. Diharapkan juga desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga privat didaerah, yang kemudian dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh Departemen yang ada di Pusat.
Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan dipusat dengan tidak lagi pejabat puncak dipusat menjalankan tugas rutin, karena hal tersebut dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian pejabat di Pusat dapat menggunakan waktu dan energi mereka untuk melakukan supervisi dan pengawasaan terhadap implementasi kebijaksanaan.
Menyediakan struktur yang mana berbagai departemen di Pusat dapat dikoordinasikan secara efektif bersama pejabat daerah dan NGO diberbagai daerah. Provinsi, Kabupaten dan kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah, khususnya program pedesaan yang dijalankan.
Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur ini merupakan wahana bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah kemudian secara bersama-sama menyampaikan kepada pemerintah.
Dengan menyediakan modal alternatif cara pembuatan kebijaksanaan, desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktifitas yang dilakukan oleh elit lokal yang sering kali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin dipedesaan. Desentralisasi dapat menciptakan administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif dan kreatif. Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi serta bereksprimen dengan kebijaksanaan yang baru didaerah-daerah tertentu tanpa harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah Negara, kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh daerah lainnya.

Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan pemimpin didaerah untuk menetapkan pelayanaan dan fasilitas secara efektif ditengah-tengah masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik daripada yang dilakukan oleh pejabat di Pusat.

Dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat didaerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka dalam memelihara sistem politik.
Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan pemerintah pusat dan daerah ketingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah diserahkan kepada daerah.

Realitas Otonomi Daerah
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang menjadi landasan implementasi otonomi daerah mengamanatkan bahwa tujuan otonomi untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Otonomi dilakukan juga dengan ekspektasi agar daerah memiliki daya saing dan keunggulan lokal.
Keinginan tersebut bisa dicapai karena berbagai perubahan untuk mewujudkan misi itu telah dilakukan. Dari dimensi
pengelolaan anggaran, misalnya lebih dari 67% porsi anggaran belanja Negara telah beralih pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dari sisi aparatur pemerintah, juga telah terjadi perpindahan pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Telah lebih banyak pegawai negeri didaerah daripada dipusat. Dengan demikian, ada lebih banyak lagi urusan pusat yang diserahkan kepada daerah. Bersama dengan berpindahnya kewenangan pusat kedaerah, nyatanya tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih jauh dari tercapai, buktinya, jumlah orang miskin tidak menurun, bahkan dalam level tertentu justru meningkat dan menjadi fenomena yang mudah ditemukan dimana-mana.
Selain tidak menyembuhkan penyakit lama, otonomi daerah juga telah menciptakan penyakit baru. Kewenangan lebih besar yang dimiliki daerah telah merangsang elite daerah melahirkan wilayah pemekaran atas dasar kepentingan yang sangat sempit, yaitu kepentingan pribadi dan primordial, sampai dengan tahun 2009 pemekaran wilayah telah dilakukan sebanyak 205 yang terdiri dari 7 Provinsi, 165 Kabupaten dan 33 Kota -- sehingga jumlah daerah di Indonesia adalah 524, ada 33 Provinsi, 398 Provinsi dan 93 Kota.
Kini, delapan tahun sudah kebijakan otonomi daerah diimplementasikan. Namun, realitas empiris menunjukkan otonomi daerah itu jauh lebih banyak dinikmati oleh elite daripada rakyat.
Situs DPRD Kab. Sumbawa - www.dprd-sumbawakab.go.id

Selasa, 22 November 2011

Regulasi dan Kebijakan Tentang Pemilu

 

DPR Sahkan RUU Partai Politik

 

      JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo, siang ini.

Pengesahan RUU Partai Politik tergolong cepat apabila dibandingkan dengan revisi Undan-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengenai penyelenggara pemilu yang masih mentok hingga saat ini.

Berdasarkan keterangan Ketua Komisi II Chairuman Harahap, RUU Partai Politik mulai dibahas pada pembicaraan tingkat I di Komisi II DPR pada 25 November 2010. Pada rapat kerja Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM 30 November 2010 disepakati 101 Daftar Inventarisasi Masalah.

Komisi II berhasil menyelesaikan seluruh pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan menugaskan panitia kerja (Panja) membahas 6 DIM. Proses di Panja juga berlangsung cepat, hanya melalui 4 kali pembahasan pada tangal 1, 2 dan 8 Desember 2010. Pada tanggal 9 dan 10 Desember, draf RUU sudah masuk ke Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk selanjutnya disahkan dalam rapar kerja Komisi II bersama Mendagri dan Menkumham tanggal 13 Desember 2010.

Lebih lanjut, Chairuman menjelaskan, beberapa poin penting dalam undang-undang tersebut antara lain, syarat pendirian partai politik dilakukan paling sedikit 30 orang yang berusia 21 tahun atau sudah menikah dari tiap provinsi. Namun yang didaftarkan sebagai pendiri di notaris paling sedikit 50 orang mewakili seluruh pendiri partai.

"Partai politik harus mempunyai kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75 persen dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi dan paling sedikit 50 persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan dan kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum," katanya saat membacakan laporan Komisi II di sidang paripurna DPR di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Kamis (16/12/2010).

Poin kedua, AD/ART partai dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan partai politik. Perubahan tersebut harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM paling lama 30 hari terhitung sejak terjadinya perubahan.

Untuk rekrutmen calon anggota DPR, undang-undang ini masih mengakomodasi semangat tindakan khusus sementara dengan memberikan kuota paling sedikit 30 persen terhadap perempuan.

Menariknya, partai politik juga diharuskan memiliki mahkamah atau sebutan lainnya untuk menyelesaikan perselirihan internal. Susunan mahkamah ini harus didaftarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Proses penyelesaian konflik internal juga harus diselesaikan paling lambat 60 hari dengan putusan bersifat final dan mengikat secara internal.

Partai politik juga diwajibkan menyampaikan laporan keuangan penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari APBN dan APBD kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 tahun sekali untuk diaudit paling lambat satu bulan setelah tahun anggaran berakhir. "Terhadap sumbangan yang diterima partai politik dari perusahaan dan atau badan swasta disepakati paling banyak senilai Rp7,5 miliar dalam waktu satu tahun," kata Chairuman.

Verifikasi
Karena perubahan aturan ini, partai politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya. Namun, partai politik wajib melakukan penyesuaian menurut undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi. Verifikasi terhadap partai sudah harus selesai dua setengah tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum.

"Dalam hal partai politik tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaannya tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum 2014," kata Chairuman.

Chairuman mengakui, revisi UU Partai Politik terkesan sangat singkat, kurang lebih 3 minggu. "Kami sadar RUU ini merupakan pintu masuk bagi undang-undang bidang politik lainnya, sehingga waktu menjadi pertimbangan dalam penyelesaiannya," katanya.

Selain RUU Partai Politik, seluruh fraksi di DPR juga menyetujui Rancangan Undang-Undang Tentang Intelijen disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.  DPR mengesahkan RUU Intelijen menjadi inisiatif DPR bersama 4 RUU lainnya yaitu RUU Lembaga Keuangan Mikro, RUU perubahan atas UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, RUU tentang perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2007 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi dan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (P3L) menjadi RUU DPR.
(ram)

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo, siang ini.

Pengesahan RUU Partai Politik tergolong cepat apabila dibandingkan dengan revisi Undan-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengenai penyelenggara pemilu yang masih mentok hingga saat ini.



PT 4 %, 23 Juta Suara Akan Hilang di Pemilu 2014

 JAKARTA- Pemerintah mengusulkan agar parliamentary threshold (PT) atau ambang batas perolehan kursi secara nasional sebesar 4 persen. Namun, usulan tersebut justru akan membuat sistem Demokrasi di Indonesia semakin tertutup, sebab banyak suara keterwakilan yang akan hilang bila angka 4 persen diterapkan.

Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar Gumay mengatakan, bila PT ditetapkan empat persen maka suara keterwakilan yang hilang akan naik. “PT 2,5 persen sudah cukup tinggi. Di tahun 2009 dengan PT 2,5 persen, angka persentase suara yang hangus atau tidak terwakili sebanyak 18,3 persen  atau 19,04 juta suara,” kata Hadar saat berbincang dengan okezone, Sabtu (29/10/2011).

“Kalau PT dinaikan 4 persen hampir pasti akan naik suara hilang menjadi 22,1 persen atau 23 juta suara,” kata Hadar.

Suara yang hilang ini, kata Hadar, adalah suara partai-partai yang memperoleh suara tetapi tidak mencapai PT “Suara partai-partai itu tidak dihitung untuk penghitungan kursi. “Angka 23 juta suara hilang itu terbilang cukup tinggi,” kata Hadar.

Dia mencontohkan, negara-negara seperti Turki yang saat ini memiliki PT tertinggi, yakni sekira 10 persen, angka suara keterwakilan yang hangus tidak mencapai angka 20 persen. “Di Turki, suara yang hangus sekira 10,4 persen,” katanya.

Hadar menyayangngkan langkah pemerintah yang mengusulkan PT sebesar empat persen. “Buat apa PT kita tinggi, untuk menyederhanakan partai?. Di negara-negara lain butuh waktu untuk menyederhanakan jumlah partai jadi tidak bisa dengan menerapkan PT dalam satu kali pemilu lantas jumlah parpol menjadi sederhana,” ujarnya.

PT, kata Hadar, bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kualitas wakil-wakil rakyat dan pemerintahan yang stabil. “Faktor PT bukanlah faktor penentu, ada faktor lain seperti perilaku politik, dan karakter pemimpin. Jadi bila pemerintah ingin menaikan PT dengan alasan untuk membuat pemerintahan lebih stabil itu tidak tepat,” katanya.

Hadar mengatakan, sebaiknya pemerintah memikirkan bagaimana menata kerja politik bila ingin mendapatkan pemerintahan yang stabil. “Percuma saja, misalkan dengan PT 4 persen, maka hanya ada 6 Parpol yang ada di Parlemen. Tapi kalau perilaku politiknya sama saja dengan yang ada sekarang, yang sebentar-sebentar rebut, dan menekan pemerintah. Percuma. Tak usahlah dinaikan,” katanya.
(ugo)


                                                                                                                                                           PDF] 

UU.Pemilu No.10. tentang PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH



PP 16 Tahun 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


Senin, 21 November 2011

Profil KPU

                                                                                                       Klping:
Profil Komisi Pemilihan Umum
(data di copy dari :www.kpu.go.id/)

Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.

KPU ketiga (2007-2012)dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum. Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. 
Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil.

Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan. Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. 
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.

Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundangundangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.

Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.

Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.

Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemiluadalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007

SUSUNAN PANITIA TIM SELEKSI CALON ANGGOTA KPU
Ketua     : Prof. Dr. H.M.Ridwan Nazir, MA
Anggota : Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono MA
               Prof. Dr. H. Jalaluddin
               Dr. Purnaman Natakusumah, MA.
               Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA
Anggota masyarakat kemudian memberikan masukan dan tanggapan terhadap 45 orang bakal calon anggota KPU. Masukan dan tanggapan diberikan secara tertulis disertai dengan identitas yang jelas kepada Tim Seleksi Calon Anggota KPU. Ke 45 orang tersebut mengikuti seleksi tahap berikutnya dari tanggal 21 s/d 30 Agustus 2007 Panitia Tim Seleksi Calon Anggota KPU memilih 21 (dua puluh satu) nama bakal calon anggota KPU dan menyampaikannya kepada Presiden RI, selanjutnya Presiden menyampaikan 21 nama bakal calon anggota KPU kepada DPR-RI untuk mengikuti fit and proper test. Dewan Perwakilan Rakyat melakukan fit and proper test.dari tanggal 1 s/d tanggal 3 Oktober 2007. Akhirnya Komisi II DPR-RI memilih dan menyusun urutan peringkat 21 (dua puluh satu) nama calon anggota KPU.
Dewan Perwakilan Rakyat melalui voting memilih 7 (tujuh) peringkat teratas dalam urutan peringkat satu sampai urutan ke 7 (tujuh) sebagai anggota KPU terpilih yaitu :
  • Prof. Dr. H. Abdul Hafiz Anshary Az, MA (43 suara) mantan Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan;
  • Sri Nuryanti, Sip. MA (42 suara), peneliti LIPI;
  • Dra. Endang Sulastri, M.Si (39 suara), aktivis perempuan;
  • I Gusti Putu Artha, Sp, M.Si (37 suara), Anggota KPU Provinsi Bali;
  • Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri, M.S (36 suara), Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang;
  • Dra. Andi Nurpati, M.Pd (29 suara), Guru MAN I Model Bandar Lampung;
  • Drs. H. Abdul Aziz, MA (27 suara), Direktur Ditmapenda, Bagais, Departemen Agama;                                                                                              Nama ke 7 (tujuh) peringkat teratas anggota KPU terpilih, disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 9 Oktober 2007. Namun hanya 6 (enam) orang yang dilantik dan diangkat sumpahnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Oktober 2007. Sedangkan Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri M.S. urung dilantik karena terlibat persoalan hukum. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Oktober 2010, melantik Saut Hamonangan Sirait, M.Th, sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sisa masa jabatan tahun 2007-2012. Pengangkatan Saut sebagai Anggota KPU tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 91/P/TAHUN 2010. Saut dilantik sebagai pengganti Andi Nurpati Baharudin yang diberhentikan dari jabatannya sebagai anggota KPU sejak tanggal 30 Juni 2010 atas rekomendasi Dewan Kehormatan KPU karena bergabung dalam kepengurusan Partai Demokrat. Saut Hamonangan Sirait adalah calon komisioner KPU yang menduduki urutan kedelapan dalam perolehan suara di Komisi II pada periode itu dengan memperoleh 26 suara.Ada 7 (tujuh) tugas berat Pemilu 2009 menanti anggota KPU yaitu :
  • Merencanakan program, anggaran serta menetapkan jadwal Pemilu;
  • Penyesuaian struktur organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU paling lambat 3 bulan sejak pelantikan anggota KPU;
  • Mempersiapkan pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) paling lambat 5 (lima) bulan setelah pelantikan
Anggota KPU;
  • Bersama-sama Bawaslu menyiapkan kode etik, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Bawaslu terbentuk;
  • Memverifikasi secara administratif dan faktual serta menetapkan peserta Pemilu;
  • Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih tetap;
  • Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan barang dan jasa Pemilu.
PEMILU DPR, DPD, DPRD, PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 2004 Pemilu 2004 menganut sitem Pemilu proporsional terbuka di mana beberapa kursi diperebutkan dalam suatu daerah pemilihan. Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Cara ini belum pernah diterapkan pada pemilu-pemilu sebelumnya, walaupun secara teknis tidak jauh berbeda.
Dalam sistem ini hak suara pemilih terwakili secara proporsional karena di dalam surat suara tercantum nama Parpol dan nama calon.

Pemilu 2004 didasarkan atas Undang-undang No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan Undangundang No 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu. Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu 2004 berbeda dengan Pemilu 1999.
Pertama, pada Pemilu 2004 anggota Parlemen (DPR, DPD dan DPRD), Presiden/Wakil Presiden dipilih secaralangsung. Kedua, ada lembaga baru yang bernama DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang calonnya berasal dari tiap Provinsi sehingga tiap provinsi mempunyai wakil (senator seperti di AS) di Parlemen. Ketiga, untuk pertama kali dalam sejarah, sistem Pemilu Indonesia menerapkan daerah pemilihan (area election). Keempat, surat suara yang sangat variatif antara lain surat suara DPR, DPD, DPRD, dan Presiden/Wakil Presiden.

Dalam penyelenggaraan Pemilu, KPU bekerja berdasarkan tahapan jadwal Pemilu Legislatif dan tahapan jadwal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Tahapan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2004 berdasarkan jadwal yang dikeluarkan KPU sepeti pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Pen¬duduk Berkelanjutan, Pemetaan daerah pemilihan dan penetapan jumlah kursi DPR dan DPRD, pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah DPR, DPD, DPRD, penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), proses pendaftaran, verifikasi, dan penetap¬an partai politik peserta Pemilu 2004 dan kampanye peserta Pemilu.

Pelaksanaan Pemilu yang obyektif telah diselenggarakan oleh KPU secara independen dalam rangka menghasilkan wakil rakyat terbaik. Hasil Pemilu 2004 menunjukkan dari seluruh pemilih yang terdaftar sebanyak 145 juta jiwa, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 124.420.339 jiwa (voters turnout 84%). Sedangkan warganegara yang tidak menggunakan hak pilihnya 25.580.030 (16%). Suara sah sebanyak 113.462.414 jiwa sedangkan suara tidak
sah 10.957.925 jiwa. Dari 24 Parpol peserta Pemilu, hanya 16 Parpol yang berhasil meraih kursi di Parlemen. Dari 16 Parpol peraih kursi di Parlemen muncul 6 Parpol peraih kursi terbesar yaitu Partai Golkar (121 kursi), PDIP (109 kursi), PPP (58 kursi), Partai Amanat Nasional (57 kursi), Partai Demokrat (56 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (52 kursi) dan Partai Keadilan Sejahtera ( 45 kursi).

Untuk mengawasi jalannya Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) berkedudukan di ibukota Republik Indonesia.Di samping Panwaslu ada juga pemantau pemilu baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pemantau Pemilu dari dalam negeri mempunyai struktur organisasi berjenjang dari pusat hingga ke daerah yang akre¬ditasinya diberikan oleh KPU. Secara keseluruhan terdapat 112 lembaga pemantau Pemilu yang mendaftar untuk berpartisipasi sebagai pemantau, dengan rincian 90 berasal dari Pemantau dalam negeri dan 22 berasal dari Pemantau luar negeri yang lulus akreditasi dan mendapat sertifikat sebagai Pemantau Pemilu 2004.

Di tengah sempitnya waktu, Komisi Pemilihan Umum (KPU mampu menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden /Wakil Presiden. Setelah Pemilu Legislatif pada tanggal 5 April 2004, KPU menyelenggarakan Pemilu Presiden
/Wakil Presiden dalam dua putaran. Pemilu Presiden /Wakil Presiden putaran pertama berlangsung 5 Juli 2004.
Sedangkan Pemilu Presiden/Wakil Presiden putaran kedua berlangsung 20 September 2004. KPU mampu menyelenggarakan 3 (tiga) kali Pemilu yang diikuti 150 juta pemilih dengan pengadaan logsitik yang sangat kompleks karena harus didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Inilah untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Selama 32 tahun Presiden/Wakil Presiden dipilih oleh Parlemen (MPR). Pada Pemilu Presiden/Wakil Presiden putaran pertama maju 5 (lima) pasangan calon Presiden/Wakil Presiden yaitu pasangan calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla, pasangan Amien Rais–Siswono Yudho Husodo, pasangan Megawati Soekarnoputri- Hasyim Muzadi, pasangan Wiranto Solahuddin Wahid dan pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Dari hasil Pemilu Presiden/Wakil Presiden putaran pertama, terdapat dua pasangan Presiden/Wakil Presiden yang memperoleh suara terbanyak yaitu pasangan Presiden/Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Yusuf Kalla, dan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Akhirnya yang terpilih menjadi Presiden/Wakil Presiden periode 2004-2009 adalah pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Yusuf Kalla. Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Yusuf Kalla memperoleh 69.266.350 suara sedangkan pasangan calon Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi memperoleh 44.900.704 suara.

Berkenaan dengan tingginya kinerja KPU dalam Pemilu 2004 itu, banyak pihak yang memuji atas keberhasilannya melaksanakan Pemilu 2004, yang bisa menjadi contoh kuat dan positif bagi Indonesia dan bagi demokrasi yang sedang marak di seluruh dunia. Pemilu tersebut menjadi contoh yang baik tentang demokrasi di Asia. Bahkan masyarakat internasional terutama Uni Eropa yang bermarkas di Brussels, menilai Pemilu yang baru berlangsung tersebut merupakan tonggak bersejarah dalam transisi demokrasi di Indonesia.
Pemerintah AS juga memuji rakyat Indonesia atas keberhasilan melewati masa transisi menuju demokrasi secara mengesankan. Indonesia juga telah sukses menyelesaikan tahapan-tahapan Pemilu tahun 2004 ini, mulai dari Pemilu Legislatif April lalu, kemudian Pilpres putaran pertama Juli, hingga Pilpres putaran terakhir 20 September lalu dengan damai. 

Pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 di Indonesia itu membuka mata dunia bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Selain sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Pemilu di Indonesia juga harus melakukan pemilihan terhadap ribuan calon legislatif dan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 di Indonesia itu membuka mata dunia bahwa Islam dan demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Seperti halnya pemerintah Amerika Serikat dan pemantau Pemilu Uni Eropa untuk Indonesia, The Carter Center pun memuji pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang jujur, bersih, demokratis dan tenang, Pemilu dilaksanakan secara transparan dan jujur.
Meskipun Pemilu 2004 yang dilaksanakan oleh KPU ini masih banyak kekurangan di sana-sini, sebagaimana dilaporkan dalam temuan-temuan para pemantau Pemilu dari dalam dan luar negeri, namun sejauh kekurangan tersebut tidak signifikan dan tidak terlalu prinsipil maka pujian dan ucapan selamat dari berbagai pihak kepada bangsa Indonesia merupakan cermin dari keberhasilan KPU dan bangsa Indonesia secara umum.

SEKRETARIAT JENDERAL KOMISI PEMILIHAN UMUM KPU mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban untuk mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu DPR, DPD dan DPRD, PemiluPresiden/Wakil Presiden serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Termasuk merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Guna mendukung tercapainya sasaran tersebut anggota KPU dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal KPU yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal KPU dan Wakil Sekretaris Jenderal KPU yang secara teknis operasional bertanggung jawab kepada KPU. Sekretaris Jenderal KPU dan Wakil Sekretaris Jenderal KPU mengkoordinasikan 7 (tujuh) Biro di lingkungan Setjen KPU.
Untuk mengelola administrasi keuangan serta pengadaan barang dan jasa berdasarkan peraturan perundangundangan, pimpinan KPU membentuk alat kelengkapan berupa divisi-divisi dan Ada pula Koordinator Wilayah (Korwil) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.

DIVISI KOMISI PEMILIHAN UMUM
Divisi Teknis Penyelenggaraan : Saut Hamonangan Sirait, M.Th
Divisi Perencanaan Program, Keuangan Dan Logistik : Drs. Abdul Aziz , M.A
Divisi Hukum dan Pengawasan : I Gusti Putu Artha , SP. MSi
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Pengembangan SDM : Dra. Endang Sulastri, M.Si
Divisi Humas, Data Informasi dan Hubungan Antar Lembaga : Sri Nuryanti, S.IP, MA
Divisi Umum dan Organisasi : Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshary AZ, MA

KOORDINATOR WILAYAH KOMISI PEMILIHAN UMUM 

Koordinator Wilayah
 1. Prof. Dr. H. Hafiz Anshary AZ,MA -

Dra. Endang Sulastri, M.Si
1. Jawa Tengah
2. Kalimantan Barat
3. Papua Barat
4. Nangroe Aceh Darusalam
5. Sulawesi Selatan 

H. Abdul Aziz, MA
1. Kalimantan Timur
2. Kepulauan Riau
3. Jawa Barat
4. Banten
5. Sulawesi Barat
6. Jambi 

Prof. Dr. Ir. Sjamsulbahri, MS
1. Sumatera Selatan
2. Maluku Utara
3. Sulawesi Tenggara
4. Kalimantan Selatan
5. Jawa Timur

Sri Nuryanti, S.IP, MA
1. D.I.Y.
2. Nusa Tenggara Barat
3. Nusa Tenggara Timur
4. Bangka Belitung
5. Gorontalo 

I Gusti Putu Artha, S.IP, M.Si
1. Sulawesi Tengah
2. Kalimantan Tengah
3. DKI Jakarta
4. Sumatera Barat
5. Papua
6. Bali

Saut Hamonangan Sirait, M.Th
1. Sumatera Utara
2. Riau
3. Lampung
4. Maluku
5. Sulawesi Utara
6. Bengkulu

 Visi dan Misi KPU
   VISI
Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 
MISI
  • Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum;
  • Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab;
  • Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien dan efektif;
  • Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
Tugas dan Kewenangan KPU
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
  • merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
  • menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;
  • membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
  • menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
  • menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
  • mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
  • memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum. Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:
  • tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.

Gila Bola dan Bola Gila

(Syarief Ariefa'id)
                                                           Bola Harga Diri

Perolehan medali emas kontingan Indonesia pada SEAGAMES saat ini sangat memuaskan, karena hampir dipastikan Indonesia meraih juara umum. Tentu ini merupakan prestasi yang patut diberi apresiasi, khususnya bagi seluruh atlet dan peserta SEAGAMES yang mewakili Indonesia. Akan tetapi predikat sebagai juara umum dalam perolehan medali emas, tentu terasa hambar, dan bahkan oleh sebagian kalangan menilai "kurang berarti" tanpa perolehan medali emas pada cabang olahraga sepak bola. Kita ketahui bersama, bahwa Garuda Muda, dipaksa angkat bendera putih oleh Harimau Malaya (timnas Malaysia) melalui drama adu pinalti. 
Kekalahan ini tentu saja mendapat banyak tanggapan, baik itu berupa pujian, kritikan, cemoohan, dan bahkan berbagai bentuk argumentai pembenaran atas kekalahan tersebut. hal ini menunjukan bahwa expectasi masyarakat Indonesia sebagai warga negara, sangat tinggi soal perolehan medali emas tersebut. sebab final antara Indonesia dan Malaysia, bukan sekedar pertarungan/pertandingan sepak bola semata. fina tersebut merupakan kompetisi dan kontestasi yang sarat dengan semangat ideologi kebangsaan, final tersebut diselimuti "dendam" sejarah panjang antara kedua negara, dimana para pemain dan juga penonton tentu sadar betul bahwa  melalui sepak bola ini-lah salah satu cara untuk melampiaskan emosi atas sikap dan tindakan malaysia yang kurang bersahabat (contoh: kasus sengketa Blok Ambalat, kasus penyiksaan TKI, kasus penangkapan nelayan dan petugas DKP, dll).

Sehingga tidak salah jika kemudian, masyarakat Indonesia sangat berharap pada Garuda Muda dapat mewakili mereka untuk menuntaskan dendam tersebut. Akan tetapi secara empirik, sejarah justru kembali mencatat, bahwa Garuda Muda kembali mengalami kegagalan. Kegagalan ini tentu mengisaratkan pada Timnas dan komponen PSSI untuk lebih sirius membenahi sistem rekruitement, sistem pembinaan dan pelatihan. karena menurut penulis, tidak pantas lagi kita mencari alasan pembenar  dan bahkan mencari kambing hitam atas kekalahan tersebut. yang terpenting adalah segera melakukan pembenahan secara komprehensif.

Ada beberapa aspek yang dapat dikaji dari final kedua negara tersebut:
Pertama, bahwa olahraga sepak bola, tidak lagi menjadi domain para pemain bola, pelatih bola dan juga penggila bola, akan tetapi telah menjadi domain publik. Ini menunjukan bahwa olah raga sepak bola, dapat dijadikan media transformasi  semangat kebersamaan menjadi semangat pluralisme, yang kemudian dapat dikelola menjadi semangat nasonalisme. Hal ini dapat dibuktikan dari besarnya dukungan publik terhadap Garuda Muda, bahkan pada pertandingan final tersebut telah mengorbankan dua nyawa penggilla bola.

Kedua, final antara Timnas Indonesia dan Malaysia, merupakan duel klasik yang sarat akan gengsi histori. Sebab kedua Bangsa yang serumpun tapi berbeda tabi'at ini memiliki sejarah masa lalu yang heroik. Kita tentu tidak lupa ketika Bung Karno mendeklarasikan GANYANG Malaysia.

Ketiga, Kekalahan Garuda Muda, harus pahami sebagai banyak kekalahan, tujuanya, agar seluruh stake holders sepak bola dapat menyusun strategi dan kebijakan yang baik untuk pengembangan dan prestasi sepak bola nasional. Kekalahan pertama, adalah kalah secara normatif sebuah pertandingan, yang artinya kita harus mengakui kehebatasn lawan, dan kita tidak boleh mencari-cari alasan pembenar dan kambing hitam atas kekalahan tersebut. Kekalah kedua adalah, kalah secara  emosional, artinya bahwa kekalahan timnas dari Malaysia juga memberikan rasa kekecewaan mendalam serta semakin meningkatkan superioritas  Timnas Malaysia serta seluruh rakyat bangsa Malaysia terhadap bangsa Indonesia Indonesia.
Keempat, Bola dapat menjadi media integrasi emosional dan semangat nasionalisme (walaupun temporary). Penampilan sempurna yang ditunjukan oleh trio Papua, dapat menjadi contoh yang baik, bahwa walaupun secara geo ekonomi dan geo politik, tanah Papua sedang dalam proses penataan, akan tetapi anak-anak muda Papu mampu memberikan kontribusi positif bagi kemajuan sepak bola Tanah Air.

Semoga, akan ada sejarah baru yang mencatat tentang keberhasilan Timnas kita dalam kancah sepak bola nasional dan dunia internasional, karena kita semua merindukan itu

(penulis: Penggila Bola)
Syarief Ariefa'id
Jln> Timoho No. 317 Jogjakarta.

Minggu, 20 November 2011

PEMBARUAN DESA; JALAN MENUJU OTONOMI DESA YANG BERKEADILAN


PEMBARUAN DESA; JALAN MENUJU OTONOMI DESA YANG BERKEADILAN
Oleh : Syarief Arie faid, S.IP


Desa sebagaimana yang disebutkan dalam UU No.32 tahun 2004 merupakan kesatuan masyarakat hukum yang hidup
Upaya melakukan pembaruan terhadap desa, apakah menyangkut pemerintahannya, tatanan sosial dan kelembagaannya, maupun perekonomiannya, niscaya berimplikasi lebih jauh terhadap eksistensi desa itu sendiri. Desa dari aspek sejarah dan hakektanya, merupakan komunitas spatial dengan tatanan pemerintahan sendiri berdasarkan budaya khas masing-masing  yang selama ini telah banyak mengalami pergeseran akibat dari sistem uniformitas yang diberlakukan oleh Negara. Oleh kerana itu, perlu dilakukan upaya pembenahan dan penataan kembali sistem tersebut dengan agenda gerakan pembaruan desa. Pembaruan yang dimaknai sebagai upaya menjadikan desa ke arah yang lebih baik berdasarkan kearifan lokal, artinya proses pembaruan yang akan dilakukan bukan merupakan proses modernisasi yang sarat dengan developmentalisme, melainkan upaya pemberdayaan dan penguatan kembali hak-hak dasar masyarakat desa ( sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan, kewenangan, adat-istiadat). Pembaruan tersebut pada dasarnya tidak merubah tatanan nilai dan kearifan-kearifan yang ada dilokal. Sehingga semua kehendak perubahan akan selalu mengacu perkembangan dan nilai-nilai yang ada di desa tersebut.
Proses pembangunan desa selama ini lebih pada proses modernisasi dan developmentalisme, sehingga berdampak pada bergesernya nilai dan kultur sosial yang ada di masyarakat, yang secara perlahan juga menggeser pola hidup masyarakat desa. Pergeseran nilai lokalitas tersebut, tentu saja tidak berlangsung secara alami, melainkan oleh sistem pemerintahan kita yang mengacu pada sistem sentralistik dan uniformitas. Hal ini bisa kita lacak dari seberapa banyak regulasi yang dibuat oleh pemerintah yang memberikan kewenangan pada desa, untuk mengatur dan menjalankan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi lokalitas (otonomi desa).
Dampak lain yang dirasakan akibat diberlakukan sistem sentralisitik ( kl. 32 tahun) yaitu kian melebarnya jurang kemiskinan yang terjadi di desa, karena memang desa tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk mengelola dan memanfaatkan potensi dan kekayaan yang ada di desa. Semua menjadi kewenangan pemerintah supra desa, desa hanya mendapat “tetesan” dari sumber daya yang dimilikinya. Minimnya kebijakan dan kewenangan yang berpihak pada pengembangan dan kemajuan masyarakat desa, juga berdampak pada meningkatnya kasus urbanisasi, anak putus sekolah dan pengangguran yang mengarah pada kemiskinan. Lagi-lagi pemerintah belum maksimal memperjuangkan hak dasar masyarakat desa sebagai manusia Indonesia. Kalau akhir-akhir ini kita telah dan sedang mendengarkan bagaimana suara para petani menutut agar pemerintah tidak mengimpor beras, harga pupuk melonjak serta  menghilang dari pasaran, harga-harga kebutuhan pertanian melonjak naik; apa yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat yang ada di desa tersebut, lagi-lagi pemerintah belum memberikan perhatian yang maksimal. Operasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah tindakan “reaksi putus asa” seperti pemadam kebakaran yang gesit bergerak akan tetapi tidak menyelesaikan substansi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat desa, khususnya petani.
Kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia secara historis merupakan masyarakat agraris yang memanfaatkan potensi sumber daya alam sebagai tumpuan hidup. Hal ini sering pula kita dengar pernyataan pemerintah dalam berbagai literatur, bahwa negara kita adalah negara agraris karena sebagian besar masyarakatnya hidup di desa dan bermata pencaharian sebagai petani. Akan tetapi pernyataan-pernyataan tersebut seringkali kontradiksi dengan kebijakan-kebijakan yang buat oleh pemerintah.
Istilah desa sebenarnya merupakan ekspresi dari penyeragaman (uniformity) politik dan administrasi dari pemerintahan lokal berbasis budaya khas komunitas setempat itu. Hal ini juga sekaligus merupakan kenyataan bahwa pengakuan kedaulatan dan kewenangan masyarakat lokal telah dihilangkan, dan kemudian digantikan oleh sebuah sistem yang memudahkan pemerintah melakukan intervensi dan atau menguasai secara politik dan ekonomi. Setidaknya, pengakuan akan eksistensi pemerintahan desa bukan berdasarkan budaya lokal yang eksis secara turun temurun dengan kekhasannya yang satu sama lain bisa berbeda di setiap daerah, melainkan lebih berdasarkan hukum positif produk penyeragaman dan atau sesuai dengan kepentingan kekuasaan negara.Yang ditonjolkan dalam memformulasikan desa adalah kesatuan masyarakat hukumnya, bukan kesatuan masyarakat adat berbasis budaya.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP No. 76/2001) dinyatakan: “Desa, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adapt istiadat masyarakat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten”.
Sangat jelas dalam defenisi itu bahwa kalaupun pemerintah sadar menyadari dimensi historis dan budaya dari suatu desa, namun untuk memperoleh pengakuan haruslah berada dalam format yang nasional, yang sebenarnya sekaligus merupakan penghindaran dari eksistensi sejarah dan budaya lokal yang memiliki kekhasan di setiap daerah itu.Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh sosiolog Mochtar Naim (Kompas, 11/06/2004), Desa adalah cerminan dari sebuah sistem pemerintahan yang feodalistis dan sentralis-vertikal-topdown yang berasal dari Jawa. Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan desa ini dikembangkan secara seragam ke seluruh wilayah Indonesia dengan mematikan dan menggantikan pemerintahan terendah yang beragam di seluruh Tanah Air. Dengan penerapan konsep desa yang uniform itu, sekaligus mematikan atau menghilangkan tatanan kelembagaan lamanya yang bersifat tradisional. Tetapi dalam sistem baru yang bernama desa itu, derajat otonomi kekuasaan lokal (di mana dulu menjadi semacam ‘negara kecil’) menjadi berkurang secara signifikan, sangat tergantung pada berbagai aturan yang berasal dari luar yang tak bisa ditolak oleh siapapun yang terlibat dalam pengelolaan atau pemerintahannya.  Kegiatan perencanaan dan implementasi program program pembangunan dengan berbagai sumber pembiayaannya, hampir mutlak tergantung dari luar desa itu sendiri. Pendekatan pembangunan yang ditawarkan di desa, diakui atau tidak, sudah merupakan bagian dari upaya pemaksaan modernisasi. Salah satu contoh yang paling nyata adalah model-model perumahan yang dibangun atau dikembangkan, sudah secara langsung meniadakan kekhasan lokalnya, dan sebaliknya menghadirkan model-model ‘import’-an. Anehnya, justru budaya yang berasal dari luar itulah yang digandrungi oleh penduduk desa, yang sekaligus berarti sudah tidak membanggakan warisan budayanya. Demikian juga pengelolaan kekuasaan di sesa, tak lagi menjadi otoritas budaya desa itu sendiri. Desa, boleh dikatakan, sudah menjadi instrumen kekuasaan oleh siapapun yang menjadi penguasa pemerintahan di atasnya. Kekuasaan di desa, dengan kata lain, tak lain berdasarkan otoritas budaya lokal di mana para pemimpinnya dipilih berdasarkan pengaruh kulturnya, melainkan tak bisa dilepaskan dengan kepentingan politik dari kelompok politisi yang berkuasa di level pemerintahan di atasnya. Pada masa Orde Baru, misalnya, para kepala desa atau aparat pemerintahan desa lainnya termasuk LKMD (lembaga ketahanan masyarakat desa) umumnya sekaligus menjadi instrumen Golkar untuk bisa melanggengkan perolehan suara partai itu dari pemilu ke pemilu. Sementara di era reformasi ini, desa terus dikendalikan melalui pemerintahan lokal (kabupaten dan juga kecamatan) untuk tetap sejalan dengan apa yang menjadi agenda para elite penguasanya. Apalagi dalam UU No. 32/2004, pengelolaan administrasi pemerintahan desa ‘dipaksakan’ untuk dikendalikan oleh pemerintahan yang terpusat di kabupaten dengan menempatkan seorang sekretaris desa dari unsur pegawai negeri sipil (PNS). Dengan struktur baru ini, tentu diharapkan agar desa bisa dikelola secara lebih professional dalam manajemen modern. Kalau dulunya dikelola secara apa adanya, maka dengan hadirnya sekrestaris desa dari PNS maka kendala pengelolaan administrasinya sudah bisa ditanggulangi. Sementara kepala desa, dan aparat lainnya, termasuk di dalamnya Badan Perwakilan Desa (BPD)/UU No. 22/1999 atau Badan Permusyawaratan Desa (Bamusdes/UU No. 32/2004), hanya akan menjadi pemegang otoritas pemerintahan desa tanpa perlu memikirkan lagi masalah-masalah administrasi. Dengan kata lain, tenaga prfofesional di bidang kesekretariatan (akan) disewa dan ditempatkan oleh pemerintah untuk mengelola administrasi pemerintahan desa. Dalam proses-proses ke depan, kalau asumsi itu terbukti, maka pemerintahan desa akan menjadi sebuah institusi yang professional dalam, setidaknya, pengelolaan administrasinya. Memang diakui bahwakebijakanpemerintah dengan UU 32/2004 juga mengalokasikan dan bagi desa (DAU) sebesar 10 %, namun demikian bila anggarantersebut diberikan tidak disertai dengan kewenangan yang jelas, saya kira itu merupakan sebuah ironis bagi kemajuan desa.Tetapi pada sisi lain dikhawatirkan berbagai inisiatif lokal-desa akan terkalahkan oleh dominasi pemikiran sekretaris desa yang berinduk pada atasanya di level pemerintahan kecamatan dan kabupaten. Soalnya, sekretaris desa merupakan aparat birokrasi yang harus tunduk pada atasanya dengan derajat kemapanan tertentu. Padahal pemerintahan desa yang dikonsep-idealkan sebagai mandiri dan otonom, pada tingkat tertentu, bisa saja memiliki kehendak dan kebijakan yang berseberangan dengan kehendak atau kebijakan birokrasi yang sekaligus juga menjadi misi sekretaris desa.Kewenangan desa agaknya memang terus berusaha diperkecil atau dihindari. Desa hanya diserahi beberapa urusan seperti pembuatan surat izin jalan, surat pengantar untuk pembuatan KTP,  surat keterangan miskin, dan bentuki-bentuk surat keterangan lainnya yang diperlukan oleh masyarakat desa, tanpa memiliki otoritas untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan langsungan dengan kepentingan hakiki masyarakat desa. Apalagi desa tak memiliki anggaran khusus untuk mewujudkan pelayanan mendesak yang diperslukan oleh warga desa sendiri. Proyek-proyke pembangunan yang diimplementasikan di desa pun, umumnya tak memberi ruang kepada pemerinatahan dan atau masyarakat desa untuk melakukan kontrol secara langsung. Demikian pula dalam berbagai bentuk eksploitasi sumberdaya alam (SDA) yang ada di desa, masyarakat desa tak lebih darti sekedar penonton. Pemerintah desa tak memiliki otoritas atau tak memperoleh kewenangan dalam pengambilan keputusan tentang berbagai SDA strategis yang ada di dalam wilayah administrasi pemerintahan mereka. Sebaliknya, pemerintah daerah, provinsi dan bahkan pemerintah pusat dan atau orang-orang yang datang dari luar itulah untuk mengeksploitasi semua itulah yang justru menjadi pemegang kuasa mutlak dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan segala upaya eksploitasi SDA yang ada di desa.Realita seperti digambarkan di atas menunjukkan bahwa desa dengan masyarakat yang ada di dalamnya hanyalah menjadi penumpang di daerah/wilayah mereka. Bahkan pada tingkat tertentu, utamanya kalau ada kepentingan para elite di atasnya (kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat – yang tak jarang merupakan produk dari kerjasama antara elite kekuasaan dan pelaku ekonomi) untuk mengeksploitasi SDA di desa, maka boleh jadi sekonyong-konyong masyarakat desa akan digusur, di mana hak-hak masyarakat desa diabaikan. Alasannya sangat sederhana, yakn demi kepentingan pembangunan, maka siapapun harus tunduk atau haruis rela untuk digusur. Kita semua tahu, kekuatan masyarakat desa untuk melakukan pembelaan terhadap hak-haknya sangat lemah. Mereka tak berdaya dalam menghadapi kekuatan kekuasaan berikut instrument-instrumen pemaksanya (tentara dan polisi), termasuk di dalamnya tak berdaya dalam menghadapi kesewenang-wenangan modal yang berkolaborasi dengan kekuasaan.  Apalagi sering terjadi para kepala desa justru menjadi pembela kepentingan kekuasaan dari atasnya sebagai pihak yang memberikan SK (surat keputusan) terhadapnya, termasujk di dalamnya secara langsung atau tak langsung melakukan pembelaan terhadap kekuatan modal dari luar – apalagi tak jarang kepala desa yang juga tergiur dengan materi (uang) yang sudah pasti dengan akan begitu mudah bisa diperolehnya ketika melakukan pembelaan atau mendukung. Padahal seharusnya kepala desa yang dipilih secara langsung oleh rakyat itulah yang menjadi ujung tombak dalam melakukan pembelaan terhadap hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Fenomena diatas setidaknya juga menggambarkan bahwa begitu kompleks persolan yang dihadapi desa. Tekanan negara dengan sistem sentralisasi dan birokrasi yang kaku, sehingga berdampak pada “matinya” keratifitas dan kearifan masyarakat lokal (desa). Hampir setiap saat kita sering mendengar bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di desa, sebagian besar kekayaan alam kita berada di desa, namun ironisnya desa dan masyarakat hanya menjadi lahan eksploitasi dan eksplorasi negara; oleh karena itu sungguh suatu tindakan yang tidak bijak, jika kemudian pemerintah Jakarta mengistrusikan agar membatasi penduduk yang akan masuk Jakarta dengan alas an kota Jakarta sudah penuh. Namun pernahkah Jakarta atau kota-kota besar lainnya melacak kenapa gejolak urbanisasi itu terjadi?; Karena memang di desa sudah tidak ada tempat yang “aman” bagi desa dan warga untuk hidup menuntut hak-haknya sebagai manusia Indonesia.Kondisi dan kecenderungan seperti digambarkan di atas menunjukkan kepada kita beberapa fenomena. Pertama, bahwa desa mengalami proses alienasi sistematis dengan terus menerus menjauhkan hak-haknya dari dirinya sendiri. Pada realitasnya, pemerintah desa dan masyarakat yang ada di dalamnyalah sebenarnya yang memiliki atas segala sumberdaya yang ada di sekitar mereka, tetapi karena mereka (desa-desa) itu telah dikoordinasikan secara paksa (imperatively coordinated) oleh kekuasaan untuk selanjutnya kekuasaanlah yang mengambil alih hak dan kewenangan mereka, maka pada akhirnya segala sumberdaya yang ada dan atau dieksploitasi itu harus direlakan untuk keluar desa atau dimiliki oleh pihak lain dari luar desa. Tepatnya, telah terus terjadi penghilangan hak-hak desa oleh karena kooptasi atau pemaksaan dengan pendekatan kekuasaan yang tersentralisasi di luar kemampuan orang-orang atau pemerintahan desa. Kedua, penghilangan daya dan kewenangan desa (pemerintahan desa) sebagai bukti konkret dari penolakan terhadap budaya lokal dalam sistem politik kita. Fenomena ini sekaligus merupakan pengingkaran dari hakekat sistem politik yang mustinya dibangun berbasis budaya lokal. Sebab musti disadari bahwa desa (berdasarkan sejarahnya)-lah yang menjadi akar budaya lokal di Indonesia di mana para pemimpin masyarakat setempat dipilih dan mengelola pemerintahannya berdasarkan budayanya masing-masing.Celakanya, persepsi, kebiasaan atau budaya seperti itu, bukan saja berlaku dalam proses-proses pemilihan pemimpin desa maupun di tingkat lokal lainnya (kabupaten/kota dan provinsi), melainkan juga dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tingkat desa dan kebijakan public lainnya baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi bahkan hingga sampai pada tingkiat nasioinal. Yang terlibat dalam proses pengambilan kebijakan adalah para elite saja, sementara masyarakat kebanyakan dianggap sebagai pihak yang tak perlu diikutsertakan dalam segala proses itu. Alasannya sederhana, yakni (1) masyarakat banyak itu sudah diwakilkan oleh para elitenya – karena memang secara budaya para elite itu memperoleh pengakuan, dan (2) masyarakat banyak dianggap tak memiliki pengetahuan dan  ketrampilan yang cukup untuk itu. Akibatnya kemudian, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah desa, apalagi pemerintahan level di atasnya, hampir semuanya bias kepentingan para elite yang terlibat di dalamnya, masih terlalu jauh dari kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi target atau orientasi utamanya. Maka tidak heran kalau produk-produk kebijakan pembangunan hanya lebih menguntungkan para elite yang memiliki kedekatan dengan, atau merupakan bagian dari jaringan budaya, politik, ekonomi dan keluarga dari pengambil kebijakan. Kesenjangan sosial ekonomi pun, kemudian, menjadi tak terelakkan, sebagai konsekwensi logis dari kepemimpinan dan watak pengambilan kebijakan di pemerintahan mulai dari desa hingga ke level pemerintahan di atasnya. Pendekatan partisipatif, tampaknya menjadi bagian dari tawaran alternatif untuk mengesankan  bahwa proses pengambilan kebijakan di tingkat desa telah melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Pada era Orde baru, dimulai sejak awal tahun 1980-an, dibentuk LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) sebagai perangkat pemerintahan desa utamanya yang mengkonsentrasikan untuk musyawarah perencanaan pembangunan desa, yang selanjutnya dikoordinasikan pada tiungkat kecamatan dan kabupaten. Tapi pendekatan partisipatif pada saat itu, dan kecenderungan terus berlangsung hingga sekarang ini, hanyalah sebuah formalitas untuk memunculkan kesan adanya keterlibatan masyarakat luas dalam perencanaan pembangunan. Karena pada kenyataannya, lagi-lagi, yang terlibat hanyalah para elite desa dengan pola pengerahan (mobilisasi). Pada saat itu juga, kepala desa sekaligus menjadi ketua LKMD, sementara kepala desa sendiri adalah merupakan instrument kekuasaan dari pemerintah di atasnya (yang sat itu tunduk di bawah Golkar). Memang upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dan demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan desa semakin dikuatkan dengan keluarnya UU No. 22/1999. Masyarakat tidak hanya memilih kepala desa secara langsung, melainkan juga menampatkan wakil-wakilnya duduk dalam BPD. Kelembagaan seperti pula ada dalam UU No. 32/2004 dengan perubahan nama menjadi Badan Permusyawaratan Desa (juga disingkiat BPD). Tetapi pada kenyataannya juga keberadaan lembaga-lembaga yang sekaligus merupakan perangkat dalam pemerintahan desa ini tidak serta merta mengembalikan kewenangan desa dalam memutuskan dan mengelola apa yang menjadi hak-haknya. Tepatnya, kendati kelembagaan sudah berubah, namun subtansinya masih tetap seperti itu, yakni hanya sebagai instrument yang tak bisa secara substansi memperjuangkan apa yang menjadi hak-hak desa alias belum bisa menjadikan pemerintahan desa lebih memiliki kewenangan.Kembali pada isu pembaruan pemerintahan desa. Agaknya memang sulit mencari arah yang jelas di tengah ketiadaan upaya untuk melakukan semacam dekonstruksi terhadap realita pemerintahan desa yang ada sekarang ini. Pada saat yang sama, seperti sudah digambarkan di atas, berbagai kebijakan pemerintah telah berupaya secara sistematis dan terus menerus menghabisi akar-akar budaya lokal dalam pengelolaan pemerintahan desa, termasuk di dalamnya dengan terus menerus melakukan pemekaran desa sehingga benar-benar watak asli dan budaya masyarakat lokal itu sudah (akan) kian sirnah. Kebijakan terakhir ini (pemekaran desa) tampak memperoleh sambutan dari para elite masyarakat lokal, karena ingin bagi-bagi kekuasaan di level pemerintahan yang terendah sekalipun, tanpa sadar bahwa para elite lokal itu tengah dijebak untuk menghilangkan budaya aslinya. Di tengah ketidak pastian arah seperti itu, kenapa masih banyak pihak yang “enggan” memperjuangkan desa, mengapa setiap orang selalu menjadikan desa sebagai obyek ketika ia berbicara tentang kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan. Mengapa manusia Indonesia cenderung hanya berpikir “tentang bahaya globalisasi” namun tidak melakukan upaya mensiasati arus globalisasi tersebut dengan pemberdayaan dan penguatan kapasitas pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan budaya di desa? seharusnya itu bukanya hanya tugas pemerintah, sebab jika persolan itu tetap kita serahkan pada pemerintah maka keniscayaan akan eksploitasi dan penindasan terus dilakukan. Sudah waktunya semua pihak, baik itu civitas akademika, praktisi, politisi, aktivis dan NGO, untuk bersama-sama memikirkan serta melakukan upaya “proses pembaruan” tersebut