Rabu, 16 November 2011

PEMEKARAN WILAYAH dan IMPLIKASInya


PEMEKARAN WILAYAH dan IMPLIKASI TERHADAP PELAYANAN PUBLIK[1]
Syarief Aryfa'id
(Materi disajikan utk Mata Kuliah Sosilogi Politik S2 Ilmu Politik UGM) 


A. Latar Belakang
Otonomi Daerah telah menjadi prasyarat yang inheren dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis serta sebagai metode meminimalisir effect uniformitas dan ketimpangan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Konsep otonomi daerah untuk mendorong peran pemerintah daerah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dan klausul inilah yang menjadi salah satu point penting, dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah[3].
Kritikan 32 Tahun dibawah rezim Orde Baru, penerapan sistem sentralisasi tidak hanya berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah bersifat sentralistik,  top-down dan bahkan otoriter, akan tetapi difungsikan sebagai instrumen politik rezim yang berkuasa untuk memobilisasi resources ekonomi dan politik ditingkat daerah sebagai bahan baku memperkokoh pyramid kekusaan rezim. Namun demikian dalam kacamata realisme, menurut pandangan saya bahwa sistem sentralisasi bila diversus-kan dengan mengguritanya kerja-kerja "globalisasi" dan liberalisme setidaknya memiliki dampak positif terhadap "keberadaan peran negara" dalam mengamankan teritori ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa yang berdaulat.
Seperti "habis gelap terbitlah terang", rezim Soeharto runtuh, secara gamblang euforia  demokrasi terjebak dalam ruang liberalisme. Dan "dalam tempo yang sesingkat-singkatnya" pemerintah yang baru dituntut untuk "menyatakan" sebagai rezim yang reformis. Proses instalasi demokrasi-pun dimulai, ditandai dengan salah satu instrument penting yaitu lahirnya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Secara prinsipil kebijakan ini ingin mengubah pola hubungan pemerintah pusat dan daerah yang lebih demokratis.
Sistem desentralisasi merekomendasikan pemerintah daerah memiliki kewenangan dan kekuasaan otonom untuk menyelenggarakan pemerintahannya sesuai dengan aspirasi dan inisiatif masyarakat daerah, kecuali beberapa hal yang telah diatur dalam perundang-undangan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, antaralain agama, pertahanan dan keamanan, moneter dan fisikal, serta kebijakan luar negeri.
Kewenangan daerah yang besar dari rahim desentralisasi tersebut bertujuan terselenggaranya pemerintahan yang partisipatif dan responsif, khususnya dalam memberikan pelayanan dan pemenuhan hak hak dasar masyarakat. Sehingga ia menjadi mekanisme mempercepat proses penataan kelembagaan ditingkat daerah yang berorintasi pada pelayanan publik yang holistik terhadap masyarakat. Harapan tentunya adalah memberikan implikasi positif terhadap kamajuan masyarakat daerah, khususnya dalam memperpendek cara dan sistem pelayanan kepada masyarakat[4].
Kebijakan desentralisasi merekomendasikan ”secara bersyarat” adanya pemekaran wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten[5]. Secara eksplisit tujuannya adalah memperdependek jarak pelayanan publik kepada masyarakat, serta mempermudah akses masyarakat terhadap hak-hak dasarnya yang diselenggarakan oleh pemerintah. Dan kabupaten Manggarai Barat salah satu kabupaten sebagai hasil pemekaran wilayah, yaitu dari kabupaten Manggarai. Pemekaran wilayah ini ditandai dengan terbitnya UU No.8 Tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten Mangarai Barat di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Spirit pemekaran kabupaten Manggarai tersebut antaralain; pertama, untuk memacu kemajuan provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya, serta Kabupaten Manggarai pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, adanya kemampuan ekonomi, potensi daerah, kondisi sosial budaya, kondisi sosial politik, jumlah penduduk, dan  luas daerah maka dipandang perlu membentuk kabupaten Manggarai Barat.
 Ketiga, pemekaran tersebut untuk mendorong peningkatan pelayanan dibindang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah[6]. Secara singkat, pemekaran wilayah bertujuan untuk mempercepat dan memperpendek (efektivitas dan efesiensi) pelayanan kepada masyarakat. Karena perlu diketahui bahwa kabupaten Manggarai merupakan salah satu kabupaten yang terluas wilayahnya di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)[7].
Yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika banyak daerah mengajukan diri untuk menjadi daerah pemekaran, dan banyak daerah yang dinyatakan syah menjadi daerah pemekaran baru oleh pemerintah pusat (melalui depdagri); Bagaimana implikasi terhadap perbaikan pelayanan publik bagi masyarakat di daerah? Mengapa  pemekaran wilayah selalu menjadi opsi terhadap percepatan dan optimalisasi pelayanan publik yang baik?
Tulisan ini setidaknya ingin mengkaji dan menganalisis secara komprehensif pemekaran wilayah dan implikasinya terhadap pelayanan publik. Hal ini sekaligus melakukan kritisasi terhadap maraknya tuntutan dari berbagai daerah untuk melakukan pemekaran. Karena kajian ini berdasarkan studi kasus pemekaran kabupaten Manggarai Barat, maka hal yang terpenting ingin diketahui adalah soal implikasi dan hasil-hasil yang dicapai, khusus pada asepek pelayanan public, setelah pemekaran wilayah dilakukan kurang lebih 7 tahun

B. Kerangka Teoritik
Otonomi dan Desentralisasi
Otonomi daerah inheren dengan unsur desentralisasi untuk mendorong terwujudnya zelfwetgeving yaitu pemerintahan sendiri. Pemerintahan yang memiliki kewenangan dan otoritas dalam menyelenggarakan membuat dan melasanakan berbagai bentuk kebijakan dan pelayanan publik[8]. Akan tetapi "project" desentralisasi seringkali berhadap-hadapan dengan prinsip uniformitas regulasi nasional satu sisi dan "orwellisasi[9]" sistem politik birokrasi yang tidak disertai konsep yang matang dalam menginstalisasi seluruh project desentralisasi tersebut. Artinya bahwa desentralisasi selalu dimaknai sebagai upaya pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, akan tetapi daerah belum mampun mengkonsepkan dan mengejahwantahkan kewenangan yang diberikan kepadanya. Inilah yang menjadi persoalan yang terjadi selama ini.
Bila dievaluasi secara komprehensif dan kritis, kebijakan desentralisasi  adalah caralain yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam mendeliever "kebangkrutan politik dan ekonomi" pusat kepada daerah ketika terjadinya krisis ekonomi dan politik. Indikatornya adalah pertama, banyaknya kewenangan yang dimiliki daerah, yang diserahkan oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah dituntut untuk mengatasi dan menyelesaikan berbagai persoalan di derahnya masing tanpa harus intervensi pemerintah pusat, termasuk berbagai persoalan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat adalah tanggungjawab daerah. Kedua, Sampai saat ini banyak daerah-daerah di Indonesia, tidak memiliki "blue print' yang jelas tentang kemana daerah yang otonom tersebut akan dibawah. Sebagian besar daerah-daerah otonom di Indonesia masih melakukan "plagitasi" berbagai bentuk kebijakan dan bahkan regulasi-regulasi daerah seringkali terjebak pada penjiblakan, antara daerah yang satu dengan pemerintahan daerah yang lain. Tentu saja hal ini sangat menghawatirkan dan menjadi ironi atas kemandirian dan originilitas kebijakan dan pelayanan publik yang jauh dari perspektif kepentingan dan aspirasi masyarakat daerah setempat.
Ketiga, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan "perundang-undangan". Maka  Pengertian otonomi seperti ini ansih soal kewenangan secara admintratif, dimana berbagai keputusan politik daerah bila "bertentangan" dengan perturan pemerintah pusat, maka pemerintah daerah mengalami defisit wewenang/kekuasaan secara politik. Inilah yang menjadi problem dari pola pengaturan otonomi zelfwetgeving yang berperspektif NKRI.
Pemekaran Wilayah; Orwell System
Pemakaran wilayah sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU No.32 tahun 2004, merupakan proses pemisahan dan atau pembagian satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan memenuhi empat syarat, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan[10].  Dengan  katalain bahwa pemekaran wilayah  merupakan proses desentralisasi dan dekonsentrasi penyelenggaraan sistem pemerintaahn baik secara de yure maupun de facto dengan tujuan untuk memacu kemajuan suatu wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat, meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan (evective governance) memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat (public goods) dan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (governabilty).
                Menteri Dalam Negeri menegaskan bahwa, undang-undang memberi ruang bagi terbentuknya daerah otonom baru. Akan tetapi bila pemekaran daerah sudah terkendali, pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah antisipatif. Khususnya jika pemekaran wilayah itu dianggap sudah menjadi beban negara. Seperti diketahui, sekarang ini terdapat 48 calon daerah otonom baru. Dari jumlah tersebut, 12 di antaranya sudah dikeluarkan amanat presiden (ampres), sedangkan 36 lainnya masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU)[11].
Pemerintah melalui Mendagri juga menyadari bahwa marakanya pemekaran wilayah saat ini, tentu harus segera dievaluasi dan dipertimbangkan secara matang dalam mengeluarkan kebijakan pemekaran wilayah[12].
Pernyataan tersebut bila di kaji secara komprehensif, maka ada beberapa hal yang dapat simpulkan. Pertama bahwa pemekaran wilayah tidak hanya dipahami sebagai ”pembagian kekuasaan” antara pemerintah pusat dan daerah, akan tetapi pentingnya kesiapan dan kemampuan daerah dalam mengelola seluruh potensi yang dimiliki guna kepentingan masyarakat, sehingga tidak membebani pemerintah pusat dan juga masyarakat di daerah. Disinggung beban negara yang ditimbulkan pemekaran, Mardiyanto menyebutkan, bila sebuah daerah otonom baru muncul, pemerintah mau tidak mau minimal harus membantu menyediakan kantor-kantor pemerintahan. Artinya, pemerintah tidak bisa begitu saja lepas tanggung jawab.
Kedua, euforia semangat memekarkan wilayah menjadi daerah otonomi saat ini lebih didasarkan pada pendekatan politis, yaitu tingginya semangat perebutan wilayah keuasaan oleh elit-elit politik lokal, dan menjadi arena baru dalam melakukan kontestasi elit, yang seringkali mengabaikan tujuan pemekaran secara substansi, yaitu mempermudah akses masyarakat terhadap pemerintah dan mengoptimalkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat.
Ketiga, pemekaran wilayah sebagai hasil konsesi politik-ekonomi dan administratif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka target yang ingin dicapai adalah 1) adanya teritorial politik dan wilayah administratif baru yang bertugas untuk mengkonsep dan melakasanakan tanggungjawab negara di daerah. 2) proses pemisahan wilayah territorial (pemekaran wilayah) yang dilakukan secara defacto dan de yure, untuk mengoptimalisasi berfungsinya sistem pemerintahan, terbangun berbagai infrastruktur, dan yang paling penting adalah masyarakat terlayani dengan baik[13]. 3) pemekaran wilayah yang inheren dengan kebijakan  otonomi daerah, dimana dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pembentukan daerah dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku[14]; undang-undang pembentukan daerah sebagaimana yang dimaksud, antaralain mencakup nama, cakupan wilayah, batas kota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintah, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen serta perangkat daerah. Menggambarkan bentuk lain dari system orwellisasi politik oleh sutau rezim yang berkauasa. Alhasil, setiap pemekaran wilayah baru, parallel dengan melahirkan aktor-aktor politik lama di daerah baru, ataupun aktor politik baru dari struktur politik lama. Yang berorientasi pada perluasaan jejaring dan legitimasi politik.  Dengan katalian bahwa pemekaran wilayah menjadi basis analisis peta kekuatan politik di tingkat nasional.

Pemekaran Wilayah; Kasus Manggarai Barat
Manggarai Barat salah satu dari sekian pemerintah kabupaten hasil pemekaran. Jika ide dasar yang tercantum dalam proposal project pemekaran yang diajukan oleh elit-elit lokal Manggarai Barat yaitu "membangun dan mensejahterakan masyarakat" maka dari ide-ide tersebutlah saya ingin mengkaji dan menganalisis implikasi pemekaran wilayah tersebut, dengan unit analisis lebih ditekankan pada faktor kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan dan memberikan pelayanan hak dasar publik. Ada tiga unsur penting; Pertama, penyelenggaraan pelayanan hak dasar, yaitu komitmen pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sebagi konsekuensi logis atas pelimpahan wewenang dan otonomisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka daerah otonom (hasil pemekaran) harus bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan hak dasar terhadap masyarakat[15].
Kedua, Adanya program-program pemerintah daerah yang berbasis pada layanan kesehatan. Program-program tersebut merupakan urutan dan rangkain kegiatan yang berkelanjutan  yang dilakukan pemerintah daerah dalam mencegah terjadi persoalan kemanusia dibidang kesehatan. Program tersebut seperti penyelenggaraan program perbaikan gizi masyarakat, pemantauan pertumbuhan balita dan pelayanan gizi. Ketiga, tersedianya alokasi anggaran pemerintah daerah untuk kesehatan masyarakat untuk penyediaan pembiayaan dan jaminan kesehatan masyarakat. Alokasi anggaran merupakan bukti konkrit dari kemauan dan kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan. Besar dan kecilnya alokasi anggaran di bidang kesehatan dapat dijadikan indikator awal dalam melihat implikasi pemekaran wilayah dan komitmen pemerintah dalam mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Alokasi anggaran tersebut meliputi; penyelenggaraan pembiayaan untuk pelayanan kesehatan perorangan, penyelenggaraan pembiayaan untuk keluarga miskin (gakin) dan masyarakat rentan, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan bagi masyarakat, dan penyediaan obat dan perbekalan kesehatan
Dari tigas aspek yang dijadikan unit analisis tersebut, ada beberapa hal yang dapat ditemukan dilapangan, antaralain; pertama, Perubahan yang terjadi pada daerah pemekaran hanya pada level politik dengan lahirnya orang lokal menjadi elit lokal di Manggarai Barat. Dan sebagian kecil terjadi pada level administrative yaitu kemudahan akses jarak tempuh dalam mengurus berbagai hal yang administrative. Kedua, dukungan masyarakat terhadap proses pemekaran agar adanya perbaikan yang signifikan pada berbagai aspek pelayanan publik akan tetapi hal tersebut belum terjadi, hal ini diperparah dengan kinerja apartur pemerintah belum maksimal. Ketiga,  sikap fatalisme masyarakat malahirkan penerimaan layanan secara terpaksa yang didasari metode logika berpikir "membandingkan" dengan era sebelum pemekaran.
Penutup.
Pertama, secara evaluatif format hubungan pemerintah pusat dan daerah yang ditandai dengan lahirnya kebijakan UU No. 32 tahun 2004 dan kalusul pemekaran wilayah, hanya menjawab persoalan legitimasi secara politik atas salah satu tuntutan reformasi yang digulirkan pada tahun 1998. Konsep desentralisasi yang dimandatkan dalam UU No.32/2004 terjebak pada liberalisasi politik yang seringkali menegasikan substasi desentralisasi yaitu zelfwetgeving berorientasi pada welfare state melalui kebijakan politik-ekonomi yang pro pada masyarakat serta menyelenggarakan pelayanan publik yang professional.
Kedua, pada aspek kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Jika mangacu pada prinsip-prinisp kerja birokrasi baik ala Weberian maupun Osborn, maka pemekaran wilayah seharusnya menjadi metode yang paling efektif dalam merumuskan dan menyelenggarakan pelayanan publik yang baik. Sebab tidak hanya secara territorial administratife semakin mudah dijangkau, akan tetapi cakupan kompleksitas masalah pelayanan semkain di persempit. Namun demikian pada kenyataan, daerah-daerah hasil pemekaran lagi-lagi belum mampu menggunakan metode tersebut. Elit politik daerah pemekaran justru membangun dinasti politik dan ekonomi baru (baca kasus KKN daerah pemekaran).
Ketiga, pemekaran wilayah juga menjadi motode mengembangkan prakarsa dari dalam, menumbuhkan kekuatan-kekuatan baru dari masyarakat (autonomous energies) sehingga intervensi dari luar termasuk dari pemerintah pusat terhadap masyarakat harus merupakan proses pemberdayaan dalam rangka mengelola pembangunan untuk mengantisipasi perubahan dan peluang yang lebih luas dan makro. Akan tetapi yang terjadi adalah secara daerah pemekaran hanya memiliki kewibawaan secara politik (hasil pilkada), akan tetapi tidak memiliki kreasi politik yang inovatif dan lokalitas. Banyak kegiatan-kegiatan studi banding menjadi arena untuk meng-copy paste kebijakan program daerah lain untuk diinstalasi di daerahnya. Tentu ini sangat bertentangan dengan prinsip autonomous energies.
Keempat, dalam kasus pemekaran wilayah Manggarai Barat, yang tujuan utamanya untuk menciptakan kemajuan dan pembangunan masyarakat NTT secara keseluruhan dan kemajuan masyarakat Manggarai Barat secara khusus[16]. Maka  menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintahan yang terbentuk (hasil pemekaran) untuk melaksanakan amanat yang dimandatakan dalam UU No. 8 tahun 2003 tersebut, dengan memberikan pelayanan publik terbaik kepada masyarakat (good public service). Melaksanakan mandat konstitusi tersebut caranya adalah dengan merumuskan kebijakan yang pro pada perbaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat serta melakukan kinerja pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.  Akan tetapi yang terjadi adalah ketidak berdayaan pemerintahan politik yang berkuasa untuk mengejawantahkan semua mandate konstitusi tersebut. Ironi yang terjadi adalah; Bupati dan ketua DPRD yang berkauasa diduga melakukan tindakan pindana korupsi anggaran pertanian masyarakat. Akses masyarakat terhadap tanah semakin sulit karena harganya mahal, akses masyarakat terhadap air tetap sulit (tidak ada perubahan yang berarti sebelum dan sesudah pemakaran), demikian juga akses masyarakat terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Kelima, jika saja pemerintah daerah meletakan konsep pemekaran wilayah sebagai metode penataan pemerintah yang baik, maka pemimpin politik daerah mengoptmalkan kinerja aparatur pemerintah sebagai kunci untuma untuk mempercepat proses pembangunan masyarakat dan pemerintah daerah. Aktualisasi dari kinerja tersebut tentunya terletak pada kemampuan mengelola dan memanfaatkan potensi yang dimiliki di daerah untuk kepentingan masyarakat. Apalagi bagi kabupaten Manggarai Barat sebagai kabupaten baru hasil pemekaran, tentu saja tugas dan tanggungjawab pemerintah yang sedang berlangsung sangat kompleks.
Keenam, bahwa implikasi pemekaran terhadap pelayanan kesejahteraan sosial yang masih belum tercapai. Hal disebabkan: 1) lembaga-lembaga yang diciptakan untuk keperluan otonomi daerah yang baru dimekarkan masih belum bekerja maksimal, dalam arti belum menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal, 2), terbentuknya dinasti politik danekonomi baruyang bersifat patron, dimana ada ketakutan dan kekhawatiran para pejabat untuk mengecewakan para atasan, sehingga berakibat pada kurangnya pendelegasian wewenang yang rasional, karena ada perasaan takut disalahkan dan berimplikasi pada pelayanan kesejahteraan masyarakat.


 
Bahan Bacaan

Abdulah Wahab, Solihin, Dr.,M.A., 2001, Analisisi Kebijaksanaan; dari Formulasi ke Implemnetasi Kebijakasanaan Negara, Jakarta, PT Bumi Aksara
Annual Report, 2001-2002, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Yogyakarta; IRE Press.
Budiman, Arif, 2001, Negara dan Masyarakat Madani, dalam St. Sularto (ed), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Jakarta ; Penerbit Buku Kompas, hal; 30-42.
Eko, Sutoro, 2003, Transisi Demokrasi Indonesia : Runtuhnya Rezim Orde Baru, Yogyakarta, APMD Press.
Eko, Sutoro, 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta, APMD Press
Gaffar, Afan, 1999, Politik Indonesia ; Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Juliantara, Dadang, 2000, Arus Bawah Demokrasi : Otonomi dan Pemberdayaan Desa, Yogyakarta, LAPPERA Pustaka Utama.
LAPERA, Tim, 2000, Otonomi Versi Negara, Yogyakarta, LAPERA Pustaka Utama.
Majid, Nurcholis, 1998,  Negara dan Civil Society, dalam  Tekad, No. 7/Tahun I, hal 14-20, hal. 2.
Nugroho, Heru, Terpaan Demokrasi Global dan Pasang Surut Demokratisasi di Indonesia, Sebuah Kata Pengantar untuk Jhon Markhoff dalam John Markhoff.
Ryaas Rasyid, Muhammad, 2000, Makna Pemerintahan ; Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya.
Tarigan, Robinson, M.R.P., 2005, Perencanaan Pembangunan Wilayah; Edisi revisi, Jakarta, PT Bumi Aksara
Poltak Sinambela, Lijan, Dr, M.M., M.Pd., dkk, 2008,  Reformasi Pelayanan Publik; Teori, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta, PT Bumi Aksara.
Winarno, Budi, Prof, Dr, MA,. 2007, Kebijakan Publik;Teori dan Proses, Yogyakarta, Medpress (Anggota IKAPI).
Zakaria, P. Yando, 2004, Merebut Negara: Beberapa Catatan Reflektif Tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Daerah, Yogyakarta, LAPERA Pustaka Utama & KARSA; Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria

Dokumen-Dokumen :

Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Undfang-Undang No. 8 tahun 2003, tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi NTT
Annual Report LAPERA Indonesia
Akses http://id.wikipedia.org/wiki/otonomi_daerah





[1]Makalah diajukan sebagai tugas akhir/ ujian mata kuliah  Seminar Politik Lokal
[2] Mahasiswa S2 Ilmu Politik angkatan 2008
[3] Baca  pembukaan UU No 22/99 Tentang  pemerintahan daerah.

[4]yang sebelumnya berpusat di Jakarta  (top-down) dan pada era otonomi (bottom-up), berbagai bentuk inisiatif dan kreativitas layanan publik dapat dilakukan oleh pemerintahan daerah akan tetapi masih terkukung oleh logika regulasi yang hiraki.
[5] Baca UU No.32/2004 yang berkaitan dengan persyaratan dan prosedur pemekaran wilayah pada tingkat kabupaten
[6] Baca UU No.8/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi NTT
[7] Pemekaran dilakukan dan tepatnya pada tahun 2003 tersebut menyatakan terbentuknya Kabupaten Manggarai Barat dengan Ibu kota Labuan Bajo
[8] H. Sumitro Maskun, 2000, dalam jurnal otonomi daerah, yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta.
[9] meminjam istilah Hans Diefer dalam pola penataan birokrasi; orwellisasi yaitu perluasan kekuasaan sebagai upaya melakukan kontrol dan pengawasan kegiatan-kegiatan ekonomi-politik dan sosial dengan menggunakan regulasi dan bila perlu dengan paksaan.
[10] Pasal 5 ayat 2 UU No.32/2004; syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. (ayat 3); Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD  provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. (ayat 4); Syarat teknis sebagaimana yang dimaskud, meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. (ayat 5) syarat fisik sebagaimana dimaksud, meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan satu provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
[11]  Mardiyanto (dalam situs atau website Mendagri)   
[12] Mendagri yang mengatakan “Kalau pemekaran menjadi marak, kita (pemerintah, red) juga perlu bicara banyak,” menanggapi maraknya desakan agar pemerintah mengkaji ulang usulan pemekaran daerah. Pemerintah tidak bermaksud melarang pemekaran daerah. Hanya saja, pemekaran hendaknya jangan menjadi model dan sebelum pemekaran perlu dipenuhi syarat-syarat serta momen pembentukan daerah otonom baru. Pertimbangan soal waktu yang tepat untuk melakukan pemekaran ini menjadi pemikiran bagi pemerintah untuk meneruskan atau tidak usulan pemekaran yang terus bermunculan. Mendagri dalam situs resmi mengatakan tentang pemekaran wilayah: “Kita lihat atau evaluasi dulu sejauhmana implikasi pemekaran tersebut terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Apakah pemekaran itu memang sudah sesuai dengan tujuannya untuk meningkatan kesejahteraan bagi masyarakat melalui perbaikan taraf hidup, pertumbuhan, dan peningkatan perekonomian daerah”.
[13] Teguh Yuwono; Implikasi pemekaran wilayah; Suara Merdeka, 13 Agustus 2007.
[14] Selanjutnya dalam ayat 3 pasal 4 menyebutkan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari suatu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Ayat 4; pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksudkan pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

[15]Pelayanan kesehatan dasar meliputi pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan anak pra sekoalah dan usuai sekolah, pelayanan keluarga berencana, pelayanan imunisasi, pelayanan pengobatan/perawatan dan pelayanan kesehatan jiwa, pelayanan dan perbaiak gizi anak serta penyediaan sarana dan parasana kesehatan bagi masyarakat.
[16]Sebagaimana yang dicantumkan dalam UU No.8 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Barat; yang salah satu kalimat kuncinya adalah "meningkatkan pelayanan kepada masyarakat"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar