Rabu, 16 November 2011

ORDE PARTISIPASI; Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran

Reviewer: Syarief Arifa'id
Semoga tulisan/review buku ini bermanfaat buat pembaca.
Tidak bermakasud "iklan", menurut saya buku dengan judul  ORDE PARTISIPASI; Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran dengan    Tebal Halaman : 317 halaman dan diterbit tahun 2005 oleh Perkumpulan PraKarsa-Jakarta, September, 2005, merupakan buku yang sarat akan nilai sejarah pengalaman politik empirik dimasa rezim Orde Baru.

4.      
A.     Pengantar

“Orde partisipasi; Bunga Rampai Partisipasi dan Politk Anggaran”lahir dari perbincangan informal antara beberapa teman. Perbincangan itu itu terjadi pada suatu hari di bulan Februari 2005’ketika FPPM menyelenggarakan hajatan forum nasional di Lombok. Kami sampaikan gagasan ini kepada sejumlh sahabat yang selama ini bergelut dalam mengembangkan pendekatan-pendekatan partisipatif. Apakah cukup menarik apabila tulisan-tulisan dikumpulkan agar lebih banyak orang bisa membaca dan mengetahuinya? Bukankah indah apabila tulisan yang berserakan itu kita satukan dalam satu buku? Jawabannya:semua afirmatif. Lagi pula,teman-teman telh banyak menyusun tulisan untuk berbagai forum dan publikasi.
Minat ini bertemu dengan rencana Perkumpulan PraKarsa untuk menyokong pengembangan gagasan-gagasan disekitar tema desentralisasi dan peran strategis ornop, dua tema yang merupakan minat kerja Perkumpulan PraKarsa. Pernyataan kami di Perkumpulan PraKarsa adalah: sejauh mana pendekatan partisipatif telah berjalan,apa saja habatannya dan apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman di negara-negara lain?
Demikianlah kisah singkat bunga rampai ini. Tentang bagaimana kriteria seleksi atas karangan-karangan ini, jawabannya sederhana: cukup longgar. Tulisan atau karangan yang baru maupu n lama berhak ditampilkan,sepanjang para penulis /penyumbang tulisan ingin karya tersebut disatukan dalam bunga rampai ini. Sebagai ditor, kami mengajukan tiga patokan umum untuk jenis yang masuk, yaitu: (i) tulisan tersebut berusaha menganalisa masalah dan peluang di sekitar perencanaan dan penganggaran di Indonesia, baik di tingkat lokal atau nasional, (ii) tulisan atau karangan yang trsebut bertolak dari ‘pendekatan tematik’ seperti soal buruh migran (TKI/TKW),lingkungan hidup dan hutang pemerintah, (iii) karangan-karangan yang bersifat kritis terhadap partisipasi dan pendekatan partisipasi. Jenis tulisan terakhir ini penting sebagai bahan perdebatan dan evaluas terhadap potensi dan kekurangan pendekatan partisipasi. Apakah partisipasi merupakan arus untuk ‘radikalisasi’ atau sebaliknya merupakan arus moderasi?
Partisipasi diambil dari bahasa Inggris “participation”. Participation sama artinya dengan “to take part”, dan “to have” atau “to posses”, yang dalam Bahasa Indonesia bermakna “ikut serta”dan “memiliki andil”. Kata ini diserap oleh bahasa Inggris dari abad XVI, dari Bahasa Latin participat yang artinya “share in” yang diangkat dari kata kerja “participare”(pars,part+capere,artinya “take” atau ambil) (New Oxford Dictionary of English,1999).
Dalam kamus Oxfofd Dictionary of Sociologi (Gordon Marshall, 1998), Participatory Democracy adalah reinkarnasi Abad XX dari model pemerintahan ideal ala Yunani kuno, yakni suatu pemerintahan oleh rakyat (demos). Istilah ini merujuk pada tipe demokrasi langsung dimana seluruh warga negara ikut serta secara aktif dalam memutuskan semua keputusan-keputusan penting. Istilah participatory democracy gencar dipakai oleh gerakan mahasiswa pada tahun 60-an di Amerika dan Eropa. Istilah ini menjadi satu kata kunci dari jalan keluar yang diusulkan oleh gerakan-gerakan sosial baru seperti gerakan anti nulir, gerakan kiri baru, gerakan perempuan diawal-awal dan grerakan perdamaian akhir tahun 1960-an dan 1970-an.
Orde partisipasi adalah upaya mengenali dan mengklarifikasi arti penting, manfaat dan halangan-halangan bagi penerapan pendekatan partisipatifdalam konteks relasi antara pemerintah dan masyarakat di era demokrasi multipartai. Orde partisipasi membahas dua pokok soal: (i) pada level gagasan dan konsepsi, mengpa partisipasi dan pendeketan partisipasi penting dan bisa dijalankan: (ii) pada level praktis dan kelembagaan,apa saja prasyarat-prasyaratbagi partisipasi yang sejati.
Di banyak Selatan da Utara, rezim demokrasi telah lama diperjuangkan dan dengan biaya sosial yang tidak kecil. Karena rezim demokrasi dan perangkatnya -sistem multipartai, kebebasan pers,kebebasan bersuara dan berorganisasi-  dianggap jalan terbaik untuk mengatasi banyak masalah suatu negara dan masyarakat.
Pada dewasa 1980-an dan 1990-an, dunia menyaksikan runtuhnya atau lengsernya rezim-rezim otoriter. Suatu gelombang sosial politik yang dikenal sebagai gelombang demokrasi. Demokrasi multipartai berhasil dipulihkan kembali. Kebebasan pers dan kebebasan berorganisasi serta berpolitik menjadi standar kehiupan politik. Konstitusi baru ditulis ulang atau diamandeman, dan pemilu bebas diselenggarakan untuk memilih parlemen dan pemerintah baru yang demokratis dan absah. Nama-nama seperti  Pinochet, Medici, Soeharto, Mobutu Sese Seko, kini tinggal jadi sejarah atau lebih tepat menjadi “hantu sejarah”.
Di Indonesia paska Soeharto, jaman itu disebut Jaman Reformasi. Ditandai oleh pemilu yang bebas, sistem multpartai, pemilu secara langsung dan seterusnya.tetapi seiring wktu berjalan -demokrasi multipartai dianggap belum berhasil menjadi sarana dan wadah bagi pemenuhan hak-hak warga negara. Secara implisit dan ekspilit, orang bertanya tentang kelebihan dan kekurangan rezim demokrasi multipartai. “Partai hanya mengurusi dirinya sendiri...”,”mengapa tidak ada stabilitas...?”, “pemerintahan terlalu sering gnti...”, “lapangan kerja tidak ada...”, “demokrasi dibajak oleh elite...”, dan “pelanggaran hak asasi manusia masa lalu belum dituntaskan...” dan seterusnya- adalah sedikit dari keluhan atau pertanyaan yang ada.
Akbitya, sebagian orang indonesia menginginkan kembali “orang kuat” yang bertangan besi – dan malah ingin kembali kemasa lalu- ketika pemerintahan  Soeharto memerintah secara otoriter dan dengan pers yang dibelenggu tetapi dianggap mampu memenuhi kebutuhan ekonomi warga dan menghasilkan stabilitas politik.
Di indinesia, lebih dari negara manapun juga, transisi menuju rezim demokrasi ini diperumit dan dpersusah oleh dua fakor : (i) transisi politik dibarengi atau didahului oleh kehacuran ekonomi nasional yang berakibat langsung pada kelemahan anggaran nasional akibat beban hutang; da (ii) campur tangan lembaga – lembaga keuangan interasional yang mengatur segi –segi makro dan mikro indonesia. Mulai tingkat suku bunga hingga tingkat gi pegwai negeri, dan dari kebijakan fiskal hingga kebijakan perdagangan luar negeri. Dengan paradigma dan prinsip liberalisasi, privatissi dan deregulasi dijadikan sebagai pemandunya.
Otonomi daerah yang memberikan kewenangan bagi pemerinta kota dan kabupaten, merupakan kesempatan emas untuk menata ulang relasi kuasa antara pemerintah pusat dan daerah menuju relasi yang lebih adil dan setara. Otonomi daerah juga merupakan jembatan emas  bagi perbaikan kualitas dan kuantitas pelayanan umum mendasar yang lebih baik. Dan secara umu: penigkatan umum kehidupan warga negara. Akan tetapi, otonomi darah juga dapat kandas dalam “elite capture”.  Bahkan, tanda – tanda menunjukkan bahwa otonomi daerah akhirnya dilihat sebagai peluang untuk pelepasan tanggung jawab negara atas hak – hak dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan, air minum dan sebagainya). Yang terjadi akhirnya, otonomi daerah sekadar bertindak sebagai  “pembuka jalan” bagi arus privtisasi, liberalisasi dan neo- liberalisme ekonomi berkedok partisipasi warga dan otonomi daerah.
Karena itu, soal anggaran pemerintah dan anggaran pembangunan menjadi titik perdebatan karena disinilah ketegangan antara elitisme dan populisme diperagakan. Bagi kalangan feminis dan penganjur Gende Budget, anggaran merupakan arena tolak- tarik antara paham patriarkis da keadilan gender. Anggaran pemerintah menjadi sumber dan simbol relasi kuasa antara elite dan warga negara sekligus instrumen ampuh bagi perbaikan dan mpemenuhan mutu kehidupan warga. Perkaranya sekarang, sejauh mana anggaran pemerintah telah diarahkan untuk memenuhi pelayanan umum dan kebutuhan – kebutuhan sosial ekonomi warga? Apa bila para pejabat pemerintah dan wakil rakyat tidak mampu “ menerjemahkan ” kebutuhan warga negara, bagaimana caranya agar mereka dapat lebih tanggap, dan berpihak kepada warga negara? Bagaimana partisipasi warga dapat mengisi arah dari alokasi anggaran?

Empat perkara yang mengemuka dalam Bunga Rampai ini adalah :

Sejauh mana demokrasi multipartai di negara – negara Utara da Selatan berhasil atau gagal dalam memenuhi kewajibannya kepada warga negara? Dan sebaliknya, bagaimana warga negara dapat me-revitalisasi agar demokrasi dapat tanggap, peka dan aspiratif kepada kebutuhan dan aspirasinya, terutamake pada kelompok yang secara sosial dan ekonomi rentan dan lemah? Pada tingkat gagasan, demokrasi liberal senantiasa didera oleh ketegangan antara “Model Athena” versus “Model Roma”, antara “Demokrasi Perwakilan” dengan “Demokrasi Langsung”, antara “Demokrasi Prosedural/Formal” versus “Demokrasi Substantif”, dan antara “Demokrasi Representif” versus “Demokrasi Partisiptif/Delibratif”.
Dalam pengalaman indonesia, masih terus terjadi perdebatan tentang sejauh mana transisi demokrasi di indonesia paska Soeharto telah membuka ruang – ruang sosial politik baru bagi kelompok- kelompok warga negara. Sejumlh ahli dan studi menyatakan bahwa demokrasi telah dibajak. Disisi lain, sejumlah fakta menunjukkan bahwa gerakan – gerakan sosial dan warga negara telah bangkit dalam bentuk forum – forum warga. Sejauh mana partisipasi telah berjalan di indonesia? Apakah partisipasi yang formalistik, teknokratis, dan prosedural? Ataukah partisipasi yang berwatak “sosial” dan “substantif”? apakah partisipasi sekadar merubah prosedur dan tatacara advokasi, ataukah juga merubah relasi kuasa yang timpang antara yang lemah dan yang kuat sehingga partisipasi menjadi sarana dan tujuan dalam pembedayaan kelompok – kelompok marjinal?
Sejauh mana perencanaan dan penganggaran pembangunan (APBD kota dan kabupaten dan juga APBN) telah melewati proses partisipasi publik. Penganggaran (dan perencanaan di dalamnya) menjadi batu ujian bagi ada tidaknya partisipasi. Karena proses penganggaran pada kenyataannya tidak saja menyangkut proses prosedural, teknis dan teknokratis tetapi juga proses sosial (sejauh mana alokasi anggaran dan manfaat sosial ekonominya bagi warga telah menjadi fokus pertimbangan) dan politik (apakah ketimpangan relasi kuasa antara wakil rakyat dan pejabat pemerintah di satu pihak dengan warga Negara di pihak lan, mampu dipertemukan dan disinergikan dalam bentuk kesepakatan tentang alokasi dan manfaat anggaran).
Sebagai soal konseptual dan praktis, institusi seperti apa yang dapat menjamin berjalannya partisipasi warga negara yang sejati? Hal ini menjadi pertanyaan yang tidak mudah apabila partisipasi –baik sebagai metode maupun sebagai tujuan- harus juga bersifat sosial dan subtanti. Dikatakan sosial dan substantif karena bertujuan memperbaiki relasi kuasa yang timpang antara yang lemah dan yang kuat. Dan dalam masyarakat yang patriarki, dimana kaum perempuan menjadi pihak yang selalu ditolak hak – haknya, kelembagaannya yang macam apa yang semestinya ada? Apakah institusi negara yang aktifis seperti model welfare state memadai? Apakah partai politik merupakan agen memadai jika partai politik mencukupi, pertanyaannya adalah : Partai politik seperti apa? Apakah NGO dan garakan – gerakan sosial kelembagaan sudah mencukupi? Dan NGO dan gerakan sosial seperti apa?
Disinilah pengalaman kota Porto Alegre di Brazil menjadi bahan yang menarik untuk diperiksa. Karena setidaknya sejumlah institusi sosial politik (pemerintah, partai politik, dan organisasi warga Negara akar rumput) bahu membahu dan jalin menjalin menyusun dan merawat proyek anggaran partisipatif ini hingga membawa perbaikan – perbaikan, tidak saja dalam hal tingkat hidup warga kota yang miskin dan rentang tetapi juga pada segi pendapatan pajak dan administrasi pemerintahan Kota Porto Alegre
Tetapi segera timbul diskusi, sejauh mana kota Porto Alegre merelevan dan dapat diadopsi oleh negara lain termasuk indonesia, dan apa saja prasyarat-prasyartnya. Institusi juga berarti kerangka hukum yang mendukung atau tidak proses partisipasi yang bermakna, baik dalam hal penganggaran, dan dalam perencanaan pembangunan.
Orde partisipasi bertolak dari premis bahwa bentuk – bentuk partisipasi dan pendekatan partisipasi yang non-tradisional adalah mungkin, desirable dan dapat dijalankan. Yang menjadi concern dari bunga rampai adalah, dalam konteks demokrasi multi partai, institusi macam apa yang menjamin dan mendorong partisipasi warga negra supaya sistim politik dan pemerintah makin peka, tanggap (responsif) dan berpihak kepada mereka yang lemah secara sosial dan ekonomi.

Bagian Pertama, menyajikan analisa tentang perkembangan gagasan dan arti penting partisipasi serta usaha menjawab pertanyaan isntitusi yang macam apa yang diperlukan terutama dalam konteks pemerintahan daerah. Bagian ini terdiri dari tulisan Gaventa dan Baierle. Tulisan John Gaventa menjawab mengapa dan bagaimana pendekatan partisipatif dapat dijalankan. Dengan mengidentifikasi berbagai pengalaman empiris di sejumlah negara -dan berbagai prasyarat yang relevan-  Gaventa mengajukan enam gagasan. Antara lain connecting people and institution karena tanpa pertautan itu, warga negara akan sekadar menjadi “foters”, sekedar menjadi “pencoblos kertas suara”, seperti yang diajukan oleh banyak hasil survei dan riset, sementara hidu sehari –harinya terabaikan dan terpisah dari institusi (politik dan pemerintah) yang dipilihnya. Dus, mempertautkan rakyat dan kelembagaan adalah tantangan abad XXI yang tidak lain adalah menemukan dan menghidupkan kembali kaitan dan hubungan yang terus menerus antara warga negara dengan institusi-institusi baik politik dan pemerintah. Gaventa juga mengusulakan pemahaman baru tentang makna warga negara dan kewargaan (citizenship). Warga negara perlu dimengerti lebih sebagai agen dan pelaku politik yang aktif dan terorganisasi ketimbang sekedar sebagai pengguna dan sasaran dari program dan produk-produk pemerintah.
Sergio Bierle menganalisa secara rinci pengalaman kota Porto Alerge dalam melaksanakan Anggaran Partisipatif (AP) atau aslinya dalam bahasa portugis dikenal sebagai Orcamento Participativo (OP). Baierle memaparkan cirir-ciri dan pertumbuhan AP, termasuk menampilkan data-data statistik mengenai latar belakang sosial dan politik peserta AP. Misalnya, satu fakta yang menarik dari data adalah peningkatan partisipasi kaum perempuan dalam proses tersebut. Kini mereka merupakan mayoritas, bukan hanya dalam sidang pleno AP(57%) tetapi juga sebagai pemimpin perkumpulan komunitas (58,9%) dan sebagai delegasi AP(54,7%). Baierle menyatakan bahwa orang tidak bisa mengabaikan hasil-hasil kemajuan sosial ekonomi yang telah dicapai oleh AP. Lepas dari berbagai ragam analisa tentang AP, kenyataaan menunjukkan bahwa ”segala kemajuan di kota itu mustahil bisa dicapai tanpa memperbaiki anggaran kota”.
Bagian Kedua, menganalisa perkembangan pasang surut partisipasi warga negara di indonesia. Juni Thamrin memperlihatkan dua macam modus partisipasi yang mungkin dijalankan, invented participation dan popural participation. Dia mencatat perkembangan penting tentang munculnya prakarsa-prakarsa forum warga dan berbagai gerak ditingkat masyarakat dan akar rumput. Sutoro Eko, memperlihatkan pasang surut demokratisasi dan partisipasi warga di desa sebelum dan sesudah era reformasi. Misalnya dia menunjukan munculnya tiga kelembagaan demokrasi dan partisipasi di desa paska reformasi : Rembuk Desa,LMD (Lembaga Musyawarah Desa), dan BPD (Badan Perwakilan Desa). Sutoro berpendapat bahwa “....demokratisasi desa memiliki kemampuan membuat pemerintah desa lebih akuntabel, transparan dan responsif dalam mengelola kebijakan dan keuangan desa. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa kepala desa bermasalah dan akhirnya digulingkan oleh rakyatnya sendiri karena tidak ada demokrasi di desa, demokrasi merupakan kekuatan baru untuk pembaharuan pemerintahan desa agar pengelolaan barang-barang  publik desa(jabatan, kebijakan, keuangan, sumber daya alam dll) dikelola dengan baik untuk kepentingan rakyat”.
Suhirman memeriksa kerangka hukum perencanaan dan penganggaran di indonesia baik ditingkat nasional dan daerah. Dia bertanya : sejauh mana peluang bagi perencanaan dan penganggaran partisipatif? Suhirman berpendapat bahwa peluang bagi partisipasi masih terbuka luas, karena kata-kata “partisipasi” telah menjadi tujuan dari berbagai undang-undang dan peraturan dan tak satupun undang-undang melarang partisipasi warga negara. Hanya satu perkara, bagaimana caranya? Dia menulis “selama ini proses-proses tersebut hanya menjadi wahana bagi eksekutif-tentu saja termasuk para birokrat yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran dan legisatif”. Untuk mwujudkan perencanaan dan penganggaran partisipatif, tulisan Suherman diakhiri dengan ajakan bahwa “...sudah saatnya bagi masyarakat sipil untuk segera merebut ruang tersebut. Ini bukan untuk kepentingan masyarakat sipil saja melainkan untuj kepentingan demokrasi, keadilan sosial,dan peningkatan kinerja pemerintahan”.
Bagian Ketiga menganalisa pengalaman kota Porto Alegre dan menarik relevansinya bagi indonesia. Pengalaman kota Porto Alegre terus menjadi bahan kajian dan terbuka terhadap berbagai penafsiran. Misalnya, sejumlah penulis melihatnya sebagai hasil dari kerja-kerja partai politik sementara pnulis lain memandangnya sebagai karya gerakan-gerakan sosial
Pietra Widiadi memahami bahwa proses yang terjadi di kota Potro Alegre merupakan hasil sejarah dan politik yang khas Brazil dan Porto Alegre, lebih khusus pikiran-peranan dari pikiran teologi pemerdekaan (meminjam istilah Romo Mangunwijaya) yang kuat mencita-citakan keadilan sosial. Faktor kedua, adalah peranan dri pendidikan kritis warga ala Paulo Freire sebagai unsur penting dalam keberhasilan Anggaran Partisipatif di kota Porto Alegre. Dedi Haryadi mengefaluasi manfaat dari praktek penganggaran partisipatif  di kota Porto Alegre, Brazil, dengan memeriksa hasil-hasil karya dari pengalaman tersebut. Bertolak dari pengalaman kota Porto Alegre dan kenyataan di Bandung, tulisannya mendukung perlunya “hijrah” atau perubahan konsep dan metode perencanaan dan penganggaran pemerintah. Dari yang bersifat “politik dan teknokratis” menjadi perencanaan dan penganggaran yang “politik, teknokratis dan partisipatoris”. Karangan Sugeng Bahagij, memperlihatkan peran dan sinergi tiga pihak dari eksperiment Anggaran Partisipatif  di kota Porto Alegre. Yakni peranan partai politik yang penuh dengan gagasan, peran pemerintah kota yang inovatif dan kebangkitan masyarakat sendiri sebagai unsur-unsur kunci yang menarik. Bagian penutup mendiskusikan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah kota di indonesia apabila hendak menerpakan model Porto Alegre.
Bagian Keempat, hendak mencoba mendengarkan pengalaman partisipasi warga negara dari tema-tema yang kini menjadi kegelisahan banyak orang : perkara buruh migran, dan soal hutang luar negeri.
Karangan Wahyu Susilo bertnya bukankah partisipasi dan demokrasi juga seharusnya perbaikan nasib dan martabat rakyat biasa termasuk buruh migran? Dia menyatakan bahwa demokrasi dan partisipasi bukan saja partisipasi politik sekadar ikut serta dalam pemilu tetapi juga menekankan pentingnya kekuatan teroganisasi dari buruh migran, agar partisipasi dari kaum buruh migran menjadi efektif. Sementara tulisan Chris Wangkay mengajukan tantangan kepada proses pengambilan keputusan ekonomi/anggaran di tingkat nasional : bagaimana mung kin mendahulukan pembayaran utang sementara nasib rakyatnya begitu susah? Apakah secara sosial dan ekonomi dapat dibenarakan? Bertolak dari pengalaman advokasi utang INFID selama lima tahun terakhir, Chris menekakan pentingnya ketertlibatan warga negara dalam memutuskan soal beban utang pemerintah.
Bagian Kelima, bagian trakhir, mengajukan semacam “peringatan”atas metode dan pendekatan partisipasi yang sedang dilancarkan oleh berbagai kalangan. Selama ini, partisipasi dan pendekatan partisipasi sering dianggap “obat mujarab” dan pengertian partisipasi seringkali terlalu longgar. Sehingga apa saja dapat diberi cap partisipasi asalkan kata itu diperlukan untuk pembenaran. Oleh karena itu, diperlukan klarifikasi atas makna partisipasi. Kriteria agar partisipasi tidah diselewengkan juga perlu digagas dan disusun karena partisipasi yang tidak menghasilakn perubahan ketimpangan atas relasi kuasa hanya akan melanggengkan penindasan, baik dari perspektif kaum marjinal yang lemah secara ekonomi maupun dari sudut pandang kelompok perempuan.  Kaum perempuan melihat partisipasi dari tujuannya, yaitu sebagai koreksi fundamental terhadap masyarakat patriarkhi. Itulah yang dianalisa Yohanes dan Masenus Arus dan Eva K Sundari. Yohanes dan Masesus Arus menulis: ”dari sudut kelembgaan, dapat juga dikatakan bahwa walaupun pendekatan partisipatif dapat mengangkat masalah-masalah mikro kedalam pusat pengambilan kebijakan, tetapi secara politis masyarakat miskin tidak serta merta dapat dibebaskan dari proses marginalisasi dan eksklusi, suatu dilema yang ingin dikritiknya sejak awal. “Eva K Sundari menganalisa perkembangan kerja-kerja advokasi anggran di indonesia dengan mengidentifikasi sumber dan faktor-faktor pendorongnya. Dia juga menyatakan bahwa metodologi adokasi hendaknya tidak menjadi tujuan advokasi . menurutnya, tanpa agenda keadilan gender maka advokasi anggaran hanya akan beresiko kegagalan. “...Sehingga advokasi kalau toh berhasil meruntuhkan satu bentuk dominasi (negara terhadap rakyat misalnya) tetapi advokasi tersebut justru sekaligus melanggengkan bentuk dominasi berdasar gender (pengekslusian kelompok disable misalnya).
Sebagai catatan penutup, dua kelemahan bunga rampai  ini perlu di sebut: Pertama, tidak adanya karangan yang bertolak dari tema lingkungan hidup, padahal urgnsi partisipasi pada arena lingkungan hidup merupakan kesepakatan semua orang, karena kehancuran hutan dan lingkungan hidup indonesia sedemikian parah,sehingga atas berbagai alasan dan sebab,kami tidak berhasil mngumplkan tulisan dengan tema tersebut. Kedua, keragaman kedalaman dari masing-masing tulisan yang ada. Hal ini tak terhindarkan karena asal-usul dan sifat bunga rampai seperti yang diceritakan dibagian awal pengantar ini.

B.     Isi Buku

Pada Bagian Pertama, ada dua penulis yaitu Jhon Gaventa dan Sergio Baierle, dimana kedua penulis tersebut  menyajikan analisa tentang perkembangan gagasan dan arti penting partisipasi serta usaha menjawab pertanyaan institusi macam apa yang diperlukan terutama dalam konteks pemerintahan daerah. Bagian ini terdiri dari tulisan Gaventa dan Baierle.
Tulisan John Gaventa menjawab mengapa dan bagaimana pendekatan partisipatif dapat dijalankan. Dengan mengidentifikasi berbagai pengalaman empiris di sejumlah negara -dan berbagai prasyarat yang relevan-  Gaventa mengajukan enam gagasan. Antara lain Pertama, connecting people and institution (menghubungkan rakyat dengan kelembagaan), hal ini beranjak dari tesis bahwa tantangan utama abad 21 adalah penciptaan hubungan-hubungan kelembagaan baru antara rakyat biasa dan institusi-institusi-teruatama di pemerintahan- yang mempengaruhi kehidupan rakyat. Karena tanpa pertautan itu, warga negara akan sekadar menjadi “foters”, sekedar menjadi “pencoblos kertas suara”, seperti yang diajukan oleh banyak hasil survei dan riset, sementara hidup sehari-harinya terabaikan dan terpisah dari institusi (politik dan pemerintah) yang dipilihnya.
Kedua, Bekerja pada dua sisi (negara dan masyarakat). Ia mejelaskan pentingnya merajut kembali jalinan antara warga negara dan pemerintah daerah, berarti bekerja pada dua sisi yakni sisi negara dan sisi masyarakat. Itu artinya, metode yang digunakan harus melampui pendekatan “masyarakat sipil” atau pendekatan berbasis negara, agar dapat menemukan fokus pada titik temu kedua belah pihak, melalui bentuk-bentuk partisipasi, sikap responsif, dan akuntabilitas baru.
Ketiga, Pentingnya merumuskan ulang makna suara warga negara (voice), mengkonsepsi kembali partisipasi dan kewarganegaraan (citizenship). Ia menjelaskan bahwa seruan tentang perlunya bentuk-bentuk baru keterlibatan antara warga negara dan negara pada dsaranya mencakup keperluan untuk suatu pemikiran ulang tentang cara-cara yang dapat menyuarakan dan mewakili suara warga negara dalam proses politik, dan mengkonsepsikan ulang pengertian partisipasi dan kewarganegaraan dalam kaitanya dengan pemerintahan daerah.
Keempat, Mempelajari hasil, sambil bereksperimen.  Dalam kontes ini ia menjelaskan bahwa; walaupun pencaharian mekanisme itu bekerja, berpihak kepada siapa, dan bagaimana hasil-hasil nayatanya dari sisi keadilan sosial. Secara umum, walaupun ada  beberapa bukti tentang hasil-hasil pengembangan demokrasi yang positif, hanya sedikit bukti tentang hasil-hasil yang pro-rakyat miskin. Ia juga menjelaskan bahwa janji-janji desentralisasi demokratis, terutama dala bentuk-bentuk baru yang lebih inovatif, memang menggiurkan.
Kelima, Menciptakan prasyarat-prasyarat untuk keberhasilan.  Ia menjelaskan bahwa kondisi-kondisi yang memungkinkan eksperimen-eksperimen pemerintahan partisipatoris dapat berjalan sukses,hanya ada di sedikit negara. Karena itu, strategi-strategi intervensi yang efektif pada banyak kasus dimulai dengan bagaimana menciptkan kondisi yang dibutuhkan agar tata pemerintahan partisipatoris berjakalan sukses. Ia juga mencontohkan beberapa negara (India, Brasil dan Afrika Selatan) sebagai negara yang memungkinkan sukses pemerintahan partisipatoris, yaitu: 1) Kapasitas pemerintah pusat yang kuat; 2) masyarakat sipil yang berkembang, dan 3) kekuatan-kekuatan politik terorganisasi, seperti partai politik yang mempunyai karakterisitik gerakan sosial yang kental.
Keenam, Memikirkan kembali makna lokal di era globalisasi.  Ia menjelaskan; walupun lokal dan tema-tema yang terkait dengan partisipasi dan pemberdayaan makin sering dibicarakan dalam diskursus pembangunan, lokal punya banyak pengertian yang saling bertentangan secara politik, dan ia sendiri merupakan konsep yang problematis, terutama di era globalisasi.
 Dus, mempertautkan rakyat dan kelembagaan adalah tantangan abad XXI yang tidak lain adalah menemukan dan menghidupkan kembali kaitan dan hubungan yang terus menerus antara warga negara dengan institusi-institusi baik politik dan pemerintah. Gaventa juga mengusulkan pemahaman baru tentang makna warga negara dan kewargaan (citizenship). Warga negara perlu dimengerti lebih sebagai agen dan pelaku politik yang aktif dan terorganisasi ketimbang sekedar sebagai pengguna dan sasaran dari program dan produk-produk pemerintah.
Sedangkan Sergio Bierle  dengan topik Transformasi dan pemberdayaan melalui anggaran partisipatoris,  ia menjelaskan beberapa hal. Pertama, ia secara kritis mepertanyakan tentang anggaran partisipatoris, sebagai pembelajaran kewarganegaraan, kebijakan publik atau strategi stranformasi sosial. Denga menganalisa secara rinci pengalaman kota Porto Alerge dalam melaksanakan Anggaran Partisipatif (AP) atau aslinya dalam bahasa portugis dikenal sebagai Orcamento Participativo (OP). Baierle memaparkan cirir-ciri dan pertumbuhan AP, termasuk menampilkan data-data statistik mengenai latar belakang sosial dan politik peserta AP. Misalnya, satu fakta yang menarik dari data adalah peningkatan partisipasi kaum perempuan dalam proses tersebut. Kini mereka merupakan mayoritas, bukan hanya dalam sidang pleno AP(57%) tetapi juga sebagai pemimpin perkumpulan komunitas (58,9%) dan sebagai delegasi AP(54,7%). Baierle menyatakan bahwa orang tidak bisa mengabaikan hasil-hasil kemajuan sosial ekonomi yang telah dicapai oleh AP. Lepas dari berbagai ragam analisa tentang AP, kenyataaan menunjukkan bahwa ”segala kemajuan di kota itu mustahil bisa dicapai tanpa memperbaiki anggaran kota”.
Kedua, ia juga menjelaskan bagaimana peran NGO dalam proses AP, sekaligus mempertanyakan idealisme NGO dalam AP. Kalangan NGO juga menilai bahwa AP adalah bersifat pragmatis, serta NGO juga berperan sebagai tukang lobi anggaran.

Pada Bagian kedua, terdapat tiga penulis yaitu; Pertama, Juni Thamrin dengan topik “menciptakan ruang baru bagi demokrasi partisipatif; dinamika dan tantanganya”. Penulis kedua; Sutoro Eko, dengan topik “memperdalam demokrasi desa”, dan penulis ketiga, Suhirman, dnegan  topik, “Kerangka hukum perencanaan dan penganggaran Daerah di Indonesia peluang dan tantangan untuk partisipasi publik”.
1)      Juni Thamrin, dengan  topik “menciptakan ruang baru bagi demokrasi partisipatif; dinamika dan tantanganya. Dalam pendahuluan ia menjelaskan tentang fase transisi Indonesia dengan berbagai persoalan yang dihadapi: a). lambanya pertumbuhan ekonomi, b) inefisiensi pemerintahan dan layanan publik, c) ketidak adilan alokasi sumberdaya, d) ancaman disintegrasi nasional, dan ekemiskinan, kebodohan serta ketidak adilan. Juni Thamrin, kurang sependapat dengan  Vedy Hadiz, 2003; yang menjelaskan tentang Indonesia, bahwa demokrasi di dalam sistem politik Indonesia telah dikuasai oleh kaum penjahat, serta Indonesia akan terjadinya balkanisasi yang ditandai dengan perpecahan etnis kombinasi dengan kerusuhan sosial sebagai akibat ketidak puasan  sisiem politk ekonomi yang dijalankan secara sentralistik dan dipenuhi praktek-praktek korupsi.
Menurut Juni, bahwa  yang terjadi di Indonesia adalah transisi ke arah demokratisasi dengan laju yang terbatasi karena tarik menarik dengan kekuatan status quo. Disisilain ia melihat adanya geliat gerakan  pro-demokrasi makin menunjukan keragaman.
Membuka ruang partisipasi publik, menuju demokrasi popular, dimana pentingnya keterlibatan warga dalam governance, dengan asumsi bahwa partisipasi aka mendorong terbangunnya  warganegara yang baik, keputusan-keputusan yang tepat dan hasil akhirnya dapat membangun pemerintahan. Gerakan NGO dan masuknya donor-donor internasional dengan gerakan pro poor, juga menjadi ruang  terbentukanya partisipasi publik.
Juni juga menjelaskan tentang dua konsep partisipasi politik warga, yaitu pertama, invited space, yaitu mengacu pada  “institusi antara” yang umumnya disediakan  atau difasilitasi oleh pemerintah (daerah) untuk merespon tuntutan warga ataupun tekanan donor internasional (Brock, et all, 2001). Kedua adalah konsep ‘popular space’, dimana arena ini merupakan wilayah genuine milik warga  yang mereka ciptakan s endiri karena solidaritas sosial yang saling membutuhkan ataupun hasil dari menjalankan protes terhadap kebijakan yang merugikan mereka.
Pada penutup, Juni menguraikan tantangan bagi demokrasi partisipasi: 1)mendorong partisipasi aktif warga yang bertanggungjawab memerlukan lebih dari sekedar uapay untuk mengundang mereka berpartisipasi. Tetapi menciptakan ruang  partisipasi dimana mereka dapat mengekspresikan diri dan kepentinganya, itu lebih penting. 2) diperlukan adanya penuntun dan petunjuk yang jelas, berupa tools, metodologi maupun modul-modul yang praktis untuk mendorong keterlibatan warga dalm governance. 3) diperlukan adanya upaya re-injecting terhadap pemahaman baru terhadap konsep, dinamika dan hubungan atas kekuasaan dan politik, terutama dinamika politik lokal bagi kelompok marginal miskin sebagai bagian dari pendidikan politik.
2)      Sutoro Eko, dengan ‘topik memperdalam demokrasi desa’. Ia mulai menjelaskan tentang topik tersebut denga mengajukan beberapa pertanyaan kritis, antaralain; mengapa harus memperlam demokrasi desa? Apakah telah terjadi kemunduran atau kematian demokrasi desa? Apa tujuan dan manfaat demokrasi desa? Apakah rakyat betul-betul butuh demokrasi? Apakah demokrasi secara otonomatis mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat desa? Bagaimana sebaiknya  demokrasi dibangun dan diterapkan di tingkat desa?
Penguatan demokrasi desa adalah sebuah prakarsa untuk menjawab kemerosotan demoktasi komunitarian desa, sekaligus untuk memperkuat pelajarn dan pengalaman desa berdemokrasi. Demokrasi bakal membawa negara lebih dekat ke rakyat desa, sekaligus membuat akses rakyat terhadap negara semakin deakt. Tanpa demokrasi, desentralisiaisi dan otonomi desa hanya akan memindahkan korupsi, sentralisme dan elitisme ke desa. Sebaliknya demokrasi tanpa desentralisasi hanya akan membuat jarak yang jauh antara negara dan masyarakat. Demokrasi, tentu tidak secara otomatis dan langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi ia adalah solusi jangka panjang untuk menciptakan keadilan.
Sutoro juga menjelaskan tentang kemerosotan demokrasi desa  dengan menggunakan perspektif sejarah dan perkembangan demokrasi desa di Indonesia, dimana desa di Indonensia- memiliki riwayat demokrasi genuine. Kemerosotan demokrasi desa setelah kolonialisasi, negeranisasi dan pembangunisasi masuk desa.
Sutoro juga menguraikan tentang jebakan-jebakan partisipasi. Petama; partisipasi sebagai mobilisasi. Kedua, partisipasi dipahami sebagai bentuk dukungan masyarakat. Ketiga, partisipasi dipahami dan dipraktekkan sebagai bentuk sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Keempat, partisipasi dipahami dalam pengerrtian nominal yakni menjatuhkan pilihan (vote), bukan dalam pengertian substantif, yakni menyampaikan suara (voice). Kelima, partisipasi cenderung dipahami dalam kerangka formal prosedural. Keenam, jebakan tirani partisipasi yang sering terjadi disektor pejuang masyarakat. Mereka yang sangat romantis terhadap masyarakat akan mengatakan  bahwa partisipasi adalah segala-galanya dalam pemerintahan dan pembangunan.
Ia juga menjelaskan tentang memahami demokrasi lokal (desa) dengan pendekatan trickel down democracy, sebagai motode untuk membandingkan demokrasi nasional dan demokrasi lokal (desa). Dimana ia melihat demokrasi di Indonesia dibingaki oleh demokrasi liberal yang ditandi dengan, keberadaan parlemen, demokrasi electoral dan demokrasi prosedural (liberal, perwakilan, elektoral) pada aras nasional memang menjadi pilihan mainstream.
Pada bagian penutup, Sutoro Eko menjelaskan, bahwa  prakarsa demokratisasi desa tentu bukanlah gagasan yang berlebihan, bukan pula gagasan yang diimpor dari negerilan. Demokratisasi desa adalah kekuatan baru yang mendorong transformasi desa secara berkelanjutan. Demokrasi lokal (desa) ini memungkinkan perpaduan antara kepemimpinana lokal yang kuat, dipercaya dan legitimasi dengan pengambilan keputusan secara kolekif melalui proses deliberasi (musayawarah), solidaritas sosial dan mengutamakan kebaikan bersama dikomunitas desa.
3)      Suhirman, dengan tema “Kerangka Hukum Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Indonesia; Tantangan untuk partisipasi publik”.  Dalam menjelaskan tema tersebut, ia memulai dengan 1) mendeskripsikan tentang kerangka hukum untuk perencanaan dan penganggaran daerah; 2) mengidentifikasi peran-pean masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran daerah; 3) mendeskripsikan konsep intik dari perencenaan dan penganggaran partisipatif daerah, dan 4) mengidentifikasi kemungkinan diterpakannya perencanaan dan penganggaran partisipatif terutama bila dikaitkan dengan kerangka hukum yang berlaku. Dalam menjelaskan kelima sub topik pembahasan tersebut , penulis menggunakan pendekatan normatif regulasi, atau berbagai peraturan dan regulasi yang berkaitan dengan perencaaan dan anggaran daerah di Indonesia.

Pada Bagian Ketiga buku ini, terdapat  tiga penulis, yaitu pertama, Pietra Widiadi dengan tema; ‘penganggaran partisipatif; sebuah proses pemberdayaan”. Kedua, Dedi Haryadi dengan tema; “ Pengalaman Porto Alegre dan isu-isu stretegis dalam perkembangan perencanaan dan penganggaran partisipatif di Indonesia”. Dan ketiga, Sugeng Bahagijo, dengan tema: Inovasi pemerintah, partisipasi dan politik partai; relevansi participatory budget (PB) Kota Porto Alegre, Bazil, bagi kota-kota di Indonesia.
1)      Pietra Widiadi dengan tema; ‘penganggaran partisipatif; sebuah proses pemberdayaan’. Dalam tema ini ia menjelaskan tentang partisipasi sebagai alat penyadaran bagi rakyat dan bukan sebagai upaya teknis pelibata rakyat dalam proses pembangunan. Bukan pula menekankan kesahihan sebuah metode. Ia menjelaskan partisipasi dengan perspektif Paulo Freire (konsep pendidikan dan pembebasan), kemudian menggunakan argumentasi Romo Mangun, dengan pendekatan teologinya.
Dalam menguraiakan tentang penganggaran partisipatif, Pietra mengacu pada dokumen World Social Forum II yang diselenggarakan di Porto Alegre, Brazil. Ia mendefenisikan PB adalah rakyat terlibat langsung dalam menentukan kebijakan tentang penganggaran daerah. hal ini juga dapat diartikan sebagai upaya membangun demokrasi, yg mengacu pada good governance (GG). Penulis menggunakan perspektif GG untuk menjelaskan peran aktor dalam PB, khususnya ditingkat desa.
PB dapat dilaksanakan apabila mengacu pada; 1) melakukan analisis kebutuhan rakyat; 2) aturan main yang ada mendorong perubahan yang nyata untuk partisipasi rakyat; 3) adanya reformasi administrasi (prosedur) penganggaran yang memberikan kesempatan pada rakyat untuk mengerti dan dapt menerapkan prosedur yang ada secara cepat dan tepat; 4) adanya sistem organisasi sosial yang mapan dalam masyarakat.
Penulis juga pentingnya mengetahui dan memahami kendala dalam melaksanakan PB, agar dapat menyusun strategi lanjutan. Mayoritas kendalanya adalah regulasi dan produk hukum dipemerintah itu sendiri, baik darin tingkat pusat sampai tingkat desa. Ia juga  membandinkan model PB di tingkat desa dengan tingkat kabupaten, dimana PB di tingkat desa lebih baik.
2)      Dedi Haryadi dengan tema; “ Pengalaman Porto Alegre dan isu-isu stretegis dalam perkembangan perencanaan dan penganggaran partisipatif di Indonesia. Mengacu pada pengalaan Brazil, Dedi menjelaskan beberap hal terkait perencanaan penganggaran partisipatif. Pertama, menguatnya fenomena warga aktif(active citizen) dan terjadinya pembelajaran publik . Kedua, terciptanya keadilan sosial dalam masyarakat. Ketiga,  terjadinya tatanan penyelenggaraan pemerintahan.
Selain bicara soal keberhasilan, Dedi juga menjelaskan soal limitasi, dimana ada lima hal yang membatasi kemungkinan hasil yang bisa diapai dari perencanaan dan penganggaran partisipatif yang diterapkan di Brazil: 1) Karena terfokus pada proyek-proyek pekerjaan umum khusus, maka banyak partisipan yang tidak tertarik belajar tentang HAM, tanggungjawab fisikal pemerintah atau kebijakan sosial lainya yang lebih luas; 2) ketergantungan partisipan pada kantor pemerintah walikota/bupati sangat tinggi; 3)terlalu berorientasi pada pembangunan jangka pendek atau paling jauh jangka menengah; 4) terlalu menekankan pada isu-isu lokal  dan kebijakan publik lokal; 5) karena kantro pemerintah wali kota masih memegang peranan penting, ada kemungkinan PB dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah yang berkuasa.
3)      Sugeng Bahagijo, dengan tema: Inovasi pemerintah, partisipasi dan politik partai; relevansi participatory budget (PB) Kota Porto Alegre, Bazil, bagi kota-kota di Indonesia. Punulis pada pendahuluanya membicarakan tentang inovasi-inovasi pememrintahan untuk memperbaiki layanan-layanan umum yang tenga berlangsung diseluruh dunia. Ia menceritakan tentang pengalaman Inggris pada tahun 1980-an yang terkenal dengan model citizen charter; pemerintahan yang responsive untuk seluruh jajaran birokrasi dan layanan pemerintah. Kemudian inovasi pemerintahan juga dicontohkan oleh Korea Selatan yang terkenal dengan model open competitive system dalam mewujudakn pemerintahan dan staf pemerintahan yang profesional. Di meksiko, inovasi pemerintah ditunjukan dengan  mengurani jabatan-jabatan dipemerintah pusat yang dianggap membebani anggaran pemerintah federal, serta dikeluarkan kebijakan publik baru yakni ‘federal law on transparacy and access government public information’. Penulis menggunaka konsep Porto Alegre untuk mengkaji, menganilisa dan mengimplemetasikan PB  dalam konteks Indonesia, dengan tetap mempertimbangkan peluang dan tantangan yang akan dihadapi. Karangan Sugeng Bahagij, memperlihatkan peran dan sinergi tiga pihak dari eksperiment Anggaran Partisipatif  di kota Porto Alegre. Yakni peranan partai politik yang penuh dengan gagasan, peran pemerintah kota yang inovatif dan kebangkitan masyarakat sendiri sebagai unsur-unsur kunci yang menarik. Bagian penutup mendiskusikan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah kota di Indonesia apabila hendak menerpakan model Porto Alegre.
Pada Bagian Keempat buku ini terdapat dua penulis. Pertama Wahyu Susilo dengan tema “ Partisipasi atau non-partispasi? Catatan tentang pengalaman advokasi buruh migran. Kedua, Chris Wangky, dengan tema “ Partisipasi sebagai demokratisasi ekonomi; refleksi pengalaman INFID. Kedua penulis ini hendak mencoba mendengarkan pengalaman partisipasi warga negara dari tema-tema yang kini menjadi kegelisahan banyak orang: perkara buruh migran, dan soal hutang luar negeri.
1)      Karangan Wahyu Susilo bertanya bukankah partisipasi dan demokrasi juga seharusnya perbaikan nasib dan martabat rakyat biasa termasuk buruh migran? Dia menyatakan bahwa demokrasi dan partisipasi bukan saja partisipasi politik sekadar ikut serta dalam pemilu tetapi juga menekankan pentingnya kekuatan teroganisasi dari buruh migran, agar partisipasi dari kaum buruh migran menjadi efektif.  Wahyu menjelaskan bahwa s alah satu sebab pemiskinan dan eksploitasi buruh migran adalah karena buruh migran gagal dalam berpartisipasi dalam kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (buruh migran). Penulis  menjelaskan sejarah  pergerakan buruh di indonesia yang mengalami komudifikasi migrasi buruh lintas batas negara yang melibatkan aktor negara, sebagai sektor bisnis baru. Terkait hal tersebut, penulis juga menjelaskan tentang pentingnya melakukan advokasi bagi buruh migran dengan menggunakan berbagai strategi dan pengorganisasian. Dan meneropong kinerja PJTKI yang tidak punya prinsip advokasi dan keberpihakan terhadap buruh migran.
2)      Chris Wangkay  dengan tema ‘Partisipasi sebagai demokratisasi ekonomi; refleksi pengalaman INFID’, ia memulai dengan mengajukan tantangan kepada proses pengambilan keputusan ekonomi/anggaran di tingkat nasional : bagaimana mung kin mendahulukan pembayaran utang sementara nasib rakyatnya begitu susah? Apakah secara sosial dan ekonomi dapat dibenarakan? Bertolak dari pengalaman advokasi utang INFID selama lima tahun terakhir, Chris menekakan pentingnya ketertlibatan warga negara dalam memutuskan soal beban utang pemerintah.

Bagian Kelima, bagian trakhir, mengajukan semacam “peringatan”atas metode dan pendekatan partisipasi yang sedang dilancarkan oleh berbagai kalangan. Selama ini, partisipasi dan pendekatan partisipasi sering dianggap “obat mujarab” dan pengertian partisipasi seringkali terlalu longgar. Sehingga apa saja dapat diberi cap partisipasi asalkan kata itu diperlukan untuk pembenaran. Oleh karena itu, diperlukan klarifikasi atas makna partisipasi. Kriteria agar partisipasi tidah diselewengkan juga perlu digagas dan disusun karena partisipasi yang tidak menghasilakn perubahan ketimpangan atas relasi kuasa hanya akan melanggengkan penindasan, baik dari perspektif kaum marjinal yang lemah secara ekonomi maupun dari sudut pandang kelompok perempuan.  Kaum perempuan melihat partisipasi dari tujuannya, yaitu sebagai koreksi fundamental terhadap masyarakat patriarkhi. Itulah yang dianalisa Yohanes dan Masenus Arus dan Eva K Sundari. Yohanes dan Masesus Arus menulis: ”dari sudut kelembgaan, dapat juga dikatakan bahwa walaupun pendekatan partisipatif dapat mengangkat masalah-masalah mikro kedalam pusat pengambilan kebijakan, tetapi secara politis masyarakat miskin tidak serta merta dapat dibebaskan dari proses marginalisasi dan eksklusi, suatu dilema yang ingin dikritiknya sejak awal. “Eva K Sundari menganalisa perkembangan kerja-kerja advokasi anggran di indonesia dengan mengidentifikasi sumber dan faktor-faktor pendorongnya. Dia juga menyatakan bahwa metodologi adokasi hendaknya tidak menjadi tujuan advokasi . menurutnya, tanpa agenda keadilan gender maka advokasi anggaran hanya akan beresiko kegagalan. “...Sehingga advokasi kalau toh berhasil meruntuhkan satu bentuk dominasi (negara terhadap rakyat misalnya) tetapi advokasi tersebut justru sekaligus melanggengkan bentuk dominasi berdasar gender (pengekslusian kelompok disable misalnya).

Melihat kelebihan dan kekurangan buku tersebut di atas serta rekomendasi
·         Kelebihan buku ini adalah terletak pada pengalaman-pengalaman empris yang dijadikan acuan dalam menganalisa, mengkaji dan membangun rumusan konsep baru tentang, politik lokal, demokrasi d an demokrasi lokal, partisipasi masyarakat, perencanaan anggaran, perencanaan pembangunan dan cerita tentang masyarakat yang dimarginalkan oleh negara
·         Kelebihan buku ini adalah kontain atau isinya sangat kontekstual dan relvena untuk dijadikan rujukan atau acuan bagi perumus kebijakan, khususnya bagi pemerintah
·         Kekurangan buku ini adalah: terjadi lompatan-lompatan kajian, yang kadang sulit dipahami, dan bahkan ada salah satu chapternya tidak memiliki sistematika penulisan yang baik,sehingga pembaca mengalami kesulitan untuk memahami alur pikiran-konsep yang ada dalam chapter 4 tentang buruh migran.
·         Buku ini sangat bermanfaat bagi para akademisi, aktivis, mahasiswa dan khsusnya pemerintah. Bagi akademisi, buku ini dapat dijadikan refensi pengetahuan guna memperkaya kasanah konsep yang berkaitan dengan pengembangan ilmu sosial dan politik lokal bagi pemerintah, buku ini bisa dijadikan acuan dalam merumuskan berbagai kebijakan dan layanan publik yang baik serta, mengkonsep ulang tentang partisipasi masyarakat yang pro pada penciptaan goood govenance.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar