Minggu, 20 November 2011

PEMBARUAN DESA; JALAN MENUJU OTONOMI DESA YANG BERKEADILAN


PEMBARUAN DESA; JALAN MENUJU OTONOMI DESA YANG BERKEADILAN
Oleh : Syarief Arie faid, S.IP


Desa sebagaimana yang disebutkan dalam UU No.32 tahun 2004 merupakan kesatuan masyarakat hukum yang hidup
Upaya melakukan pembaruan terhadap desa, apakah menyangkut pemerintahannya, tatanan sosial dan kelembagaannya, maupun perekonomiannya, niscaya berimplikasi lebih jauh terhadap eksistensi desa itu sendiri. Desa dari aspek sejarah dan hakektanya, merupakan komunitas spatial dengan tatanan pemerintahan sendiri berdasarkan budaya khas masing-masing  yang selama ini telah banyak mengalami pergeseran akibat dari sistem uniformitas yang diberlakukan oleh Negara. Oleh kerana itu, perlu dilakukan upaya pembenahan dan penataan kembali sistem tersebut dengan agenda gerakan pembaruan desa. Pembaruan yang dimaknai sebagai upaya menjadikan desa ke arah yang lebih baik berdasarkan kearifan lokal, artinya proses pembaruan yang akan dilakukan bukan merupakan proses modernisasi yang sarat dengan developmentalisme, melainkan upaya pemberdayaan dan penguatan kembali hak-hak dasar masyarakat desa ( sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan, kewenangan, adat-istiadat). Pembaruan tersebut pada dasarnya tidak merubah tatanan nilai dan kearifan-kearifan yang ada dilokal. Sehingga semua kehendak perubahan akan selalu mengacu perkembangan dan nilai-nilai yang ada di desa tersebut.
Proses pembangunan desa selama ini lebih pada proses modernisasi dan developmentalisme, sehingga berdampak pada bergesernya nilai dan kultur sosial yang ada di masyarakat, yang secara perlahan juga menggeser pola hidup masyarakat desa. Pergeseran nilai lokalitas tersebut, tentu saja tidak berlangsung secara alami, melainkan oleh sistem pemerintahan kita yang mengacu pada sistem sentralistik dan uniformitas. Hal ini bisa kita lacak dari seberapa banyak regulasi yang dibuat oleh pemerintah yang memberikan kewenangan pada desa, untuk mengatur dan menjalankan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi lokalitas (otonomi desa).
Dampak lain yang dirasakan akibat diberlakukan sistem sentralisitik ( kl. 32 tahun) yaitu kian melebarnya jurang kemiskinan yang terjadi di desa, karena memang desa tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk mengelola dan memanfaatkan potensi dan kekayaan yang ada di desa. Semua menjadi kewenangan pemerintah supra desa, desa hanya mendapat “tetesan” dari sumber daya yang dimilikinya. Minimnya kebijakan dan kewenangan yang berpihak pada pengembangan dan kemajuan masyarakat desa, juga berdampak pada meningkatnya kasus urbanisasi, anak putus sekolah dan pengangguran yang mengarah pada kemiskinan. Lagi-lagi pemerintah belum maksimal memperjuangkan hak dasar masyarakat desa sebagai manusia Indonesia. Kalau akhir-akhir ini kita telah dan sedang mendengarkan bagaimana suara para petani menutut agar pemerintah tidak mengimpor beras, harga pupuk melonjak serta  menghilang dari pasaran, harga-harga kebutuhan pertanian melonjak naik; apa yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat yang ada di desa tersebut, lagi-lagi pemerintah belum memberikan perhatian yang maksimal. Operasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah tindakan “reaksi putus asa” seperti pemadam kebakaran yang gesit bergerak akan tetapi tidak menyelesaikan substansi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat desa, khususnya petani.
Kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia secara historis merupakan masyarakat agraris yang memanfaatkan potensi sumber daya alam sebagai tumpuan hidup. Hal ini sering pula kita dengar pernyataan pemerintah dalam berbagai literatur, bahwa negara kita adalah negara agraris karena sebagian besar masyarakatnya hidup di desa dan bermata pencaharian sebagai petani. Akan tetapi pernyataan-pernyataan tersebut seringkali kontradiksi dengan kebijakan-kebijakan yang buat oleh pemerintah.
Istilah desa sebenarnya merupakan ekspresi dari penyeragaman (uniformity) politik dan administrasi dari pemerintahan lokal berbasis budaya khas komunitas setempat itu. Hal ini juga sekaligus merupakan kenyataan bahwa pengakuan kedaulatan dan kewenangan masyarakat lokal telah dihilangkan, dan kemudian digantikan oleh sebuah sistem yang memudahkan pemerintah melakukan intervensi dan atau menguasai secara politik dan ekonomi. Setidaknya, pengakuan akan eksistensi pemerintahan desa bukan berdasarkan budaya lokal yang eksis secara turun temurun dengan kekhasannya yang satu sama lain bisa berbeda di setiap daerah, melainkan lebih berdasarkan hukum positif produk penyeragaman dan atau sesuai dengan kepentingan kekuasaan negara.Yang ditonjolkan dalam memformulasikan desa adalah kesatuan masyarakat hukumnya, bukan kesatuan masyarakat adat berbasis budaya.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP No. 76/2001) dinyatakan: “Desa, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adapt istiadat masyarakat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten”.
Sangat jelas dalam defenisi itu bahwa kalaupun pemerintah sadar menyadari dimensi historis dan budaya dari suatu desa, namun untuk memperoleh pengakuan haruslah berada dalam format yang nasional, yang sebenarnya sekaligus merupakan penghindaran dari eksistensi sejarah dan budaya lokal yang memiliki kekhasan di setiap daerah itu.Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh sosiolog Mochtar Naim (Kompas, 11/06/2004), Desa adalah cerminan dari sebuah sistem pemerintahan yang feodalistis dan sentralis-vertikal-topdown yang berasal dari Jawa. Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan desa ini dikembangkan secara seragam ke seluruh wilayah Indonesia dengan mematikan dan menggantikan pemerintahan terendah yang beragam di seluruh Tanah Air. Dengan penerapan konsep desa yang uniform itu, sekaligus mematikan atau menghilangkan tatanan kelembagaan lamanya yang bersifat tradisional. Tetapi dalam sistem baru yang bernama desa itu, derajat otonomi kekuasaan lokal (di mana dulu menjadi semacam ‘negara kecil’) menjadi berkurang secara signifikan, sangat tergantung pada berbagai aturan yang berasal dari luar yang tak bisa ditolak oleh siapapun yang terlibat dalam pengelolaan atau pemerintahannya.  Kegiatan perencanaan dan implementasi program program pembangunan dengan berbagai sumber pembiayaannya, hampir mutlak tergantung dari luar desa itu sendiri. Pendekatan pembangunan yang ditawarkan di desa, diakui atau tidak, sudah merupakan bagian dari upaya pemaksaan modernisasi. Salah satu contoh yang paling nyata adalah model-model perumahan yang dibangun atau dikembangkan, sudah secara langsung meniadakan kekhasan lokalnya, dan sebaliknya menghadirkan model-model ‘import’-an. Anehnya, justru budaya yang berasal dari luar itulah yang digandrungi oleh penduduk desa, yang sekaligus berarti sudah tidak membanggakan warisan budayanya. Demikian juga pengelolaan kekuasaan di sesa, tak lagi menjadi otoritas budaya desa itu sendiri. Desa, boleh dikatakan, sudah menjadi instrumen kekuasaan oleh siapapun yang menjadi penguasa pemerintahan di atasnya. Kekuasaan di desa, dengan kata lain, tak lain berdasarkan otoritas budaya lokal di mana para pemimpinnya dipilih berdasarkan pengaruh kulturnya, melainkan tak bisa dilepaskan dengan kepentingan politik dari kelompok politisi yang berkuasa di level pemerintahan di atasnya. Pada masa Orde Baru, misalnya, para kepala desa atau aparat pemerintahan desa lainnya termasuk LKMD (lembaga ketahanan masyarakat desa) umumnya sekaligus menjadi instrumen Golkar untuk bisa melanggengkan perolehan suara partai itu dari pemilu ke pemilu. Sementara di era reformasi ini, desa terus dikendalikan melalui pemerintahan lokal (kabupaten dan juga kecamatan) untuk tetap sejalan dengan apa yang menjadi agenda para elite penguasanya. Apalagi dalam UU No. 32/2004, pengelolaan administrasi pemerintahan desa ‘dipaksakan’ untuk dikendalikan oleh pemerintahan yang terpusat di kabupaten dengan menempatkan seorang sekretaris desa dari unsur pegawai negeri sipil (PNS). Dengan struktur baru ini, tentu diharapkan agar desa bisa dikelola secara lebih professional dalam manajemen modern. Kalau dulunya dikelola secara apa adanya, maka dengan hadirnya sekrestaris desa dari PNS maka kendala pengelolaan administrasinya sudah bisa ditanggulangi. Sementara kepala desa, dan aparat lainnya, termasuk di dalamnya Badan Perwakilan Desa (BPD)/UU No. 22/1999 atau Badan Permusyawaratan Desa (Bamusdes/UU No. 32/2004), hanya akan menjadi pemegang otoritas pemerintahan desa tanpa perlu memikirkan lagi masalah-masalah administrasi. Dengan kata lain, tenaga prfofesional di bidang kesekretariatan (akan) disewa dan ditempatkan oleh pemerintah untuk mengelola administrasi pemerintahan desa. Dalam proses-proses ke depan, kalau asumsi itu terbukti, maka pemerintahan desa akan menjadi sebuah institusi yang professional dalam, setidaknya, pengelolaan administrasinya. Memang diakui bahwakebijakanpemerintah dengan UU 32/2004 juga mengalokasikan dan bagi desa (DAU) sebesar 10 %, namun demikian bila anggarantersebut diberikan tidak disertai dengan kewenangan yang jelas, saya kira itu merupakan sebuah ironis bagi kemajuan desa.Tetapi pada sisi lain dikhawatirkan berbagai inisiatif lokal-desa akan terkalahkan oleh dominasi pemikiran sekretaris desa yang berinduk pada atasanya di level pemerintahan kecamatan dan kabupaten. Soalnya, sekretaris desa merupakan aparat birokrasi yang harus tunduk pada atasanya dengan derajat kemapanan tertentu. Padahal pemerintahan desa yang dikonsep-idealkan sebagai mandiri dan otonom, pada tingkat tertentu, bisa saja memiliki kehendak dan kebijakan yang berseberangan dengan kehendak atau kebijakan birokrasi yang sekaligus juga menjadi misi sekretaris desa.Kewenangan desa agaknya memang terus berusaha diperkecil atau dihindari. Desa hanya diserahi beberapa urusan seperti pembuatan surat izin jalan, surat pengantar untuk pembuatan KTP,  surat keterangan miskin, dan bentuki-bentuk surat keterangan lainnya yang diperlukan oleh masyarakat desa, tanpa memiliki otoritas untuk memutuskan sesuatu yang berkaitan langsungan dengan kepentingan hakiki masyarakat desa. Apalagi desa tak memiliki anggaran khusus untuk mewujudkan pelayanan mendesak yang diperslukan oleh warga desa sendiri. Proyek-proyke pembangunan yang diimplementasikan di desa pun, umumnya tak memberi ruang kepada pemerinatahan dan atau masyarakat desa untuk melakukan kontrol secara langsung. Demikian pula dalam berbagai bentuk eksploitasi sumberdaya alam (SDA) yang ada di desa, masyarakat desa tak lebih darti sekedar penonton. Pemerintah desa tak memiliki otoritas atau tak memperoleh kewenangan dalam pengambilan keputusan tentang berbagai SDA strategis yang ada di dalam wilayah administrasi pemerintahan mereka. Sebaliknya, pemerintah daerah, provinsi dan bahkan pemerintah pusat dan atau orang-orang yang datang dari luar itulah untuk mengeksploitasi semua itulah yang justru menjadi pemegang kuasa mutlak dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan segala upaya eksploitasi SDA yang ada di desa.Realita seperti digambarkan di atas menunjukkan bahwa desa dengan masyarakat yang ada di dalamnya hanyalah menjadi penumpang di daerah/wilayah mereka. Bahkan pada tingkat tertentu, utamanya kalau ada kepentingan para elite di atasnya (kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat – yang tak jarang merupakan produk dari kerjasama antara elite kekuasaan dan pelaku ekonomi) untuk mengeksploitasi SDA di desa, maka boleh jadi sekonyong-konyong masyarakat desa akan digusur, di mana hak-hak masyarakat desa diabaikan. Alasannya sangat sederhana, yakn demi kepentingan pembangunan, maka siapapun harus tunduk atau haruis rela untuk digusur. Kita semua tahu, kekuatan masyarakat desa untuk melakukan pembelaan terhadap hak-haknya sangat lemah. Mereka tak berdaya dalam menghadapi kekuatan kekuasaan berikut instrument-instrumen pemaksanya (tentara dan polisi), termasuk di dalamnya tak berdaya dalam menghadapi kesewenang-wenangan modal yang berkolaborasi dengan kekuasaan.  Apalagi sering terjadi para kepala desa justru menjadi pembela kepentingan kekuasaan dari atasnya sebagai pihak yang memberikan SK (surat keputusan) terhadapnya, termasujk di dalamnya secara langsung atau tak langsung melakukan pembelaan terhadap kekuatan modal dari luar – apalagi tak jarang kepala desa yang juga tergiur dengan materi (uang) yang sudah pasti dengan akan begitu mudah bisa diperolehnya ketika melakukan pembelaan atau mendukung. Padahal seharusnya kepala desa yang dipilih secara langsung oleh rakyat itulah yang menjadi ujung tombak dalam melakukan pembelaan terhadap hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Fenomena diatas setidaknya juga menggambarkan bahwa begitu kompleks persolan yang dihadapi desa. Tekanan negara dengan sistem sentralisasi dan birokrasi yang kaku, sehingga berdampak pada “matinya” keratifitas dan kearifan masyarakat lokal (desa). Hampir setiap saat kita sering mendengar bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di desa, sebagian besar kekayaan alam kita berada di desa, namun ironisnya desa dan masyarakat hanya menjadi lahan eksploitasi dan eksplorasi negara; oleh karena itu sungguh suatu tindakan yang tidak bijak, jika kemudian pemerintah Jakarta mengistrusikan agar membatasi penduduk yang akan masuk Jakarta dengan alas an kota Jakarta sudah penuh. Namun pernahkah Jakarta atau kota-kota besar lainnya melacak kenapa gejolak urbanisasi itu terjadi?; Karena memang di desa sudah tidak ada tempat yang “aman” bagi desa dan warga untuk hidup menuntut hak-haknya sebagai manusia Indonesia.Kondisi dan kecenderungan seperti digambarkan di atas menunjukkan kepada kita beberapa fenomena. Pertama, bahwa desa mengalami proses alienasi sistematis dengan terus menerus menjauhkan hak-haknya dari dirinya sendiri. Pada realitasnya, pemerintah desa dan masyarakat yang ada di dalamnyalah sebenarnya yang memiliki atas segala sumberdaya yang ada di sekitar mereka, tetapi karena mereka (desa-desa) itu telah dikoordinasikan secara paksa (imperatively coordinated) oleh kekuasaan untuk selanjutnya kekuasaanlah yang mengambil alih hak dan kewenangan mereka, maka pada akhirnya segala sumberdaya yang ada dan atau dieksploitasi itu harus direlakan untuk keluar desa atau dimiliki oleh pihak lain dari luar desa. Tepatnya, telah terus terjadi penghilangan hak-hak desa oleh karena kooptasi atau pemaksaan dengan pendekatan kekuasaan yang tersentralisasi di luar kemampuan orang-orang atau pemerintahan desa. Kedua, penghilangan daya dan kewenangan desa (pemerintahan desa) sebagai bukti konkret dari penolakan terhadap budaya lokal dalam sistem politik kita. Fenomena ini sekaligus merupakan pengingkaran dari hakekat sistem politik yang mustinya dibangun berbasis budaya lokal. Sebab musti disadari bahwa desa (berdasarkan sejarahnya)-lah yang menjadi akar budaya lokal di Indonesia di mana para pemimpin masyarakat setempat dipilih dan mengelola pemerintahannya berdasarkan budayanya masing-masing.Celakanya, persepsi, kebiasaan atau budaya seperti itu, bukan saja berlaku dalam proses-proses pemilihan pemimpin desa maupun di tingkat lokal lainnya (kabupaten/kota dan provinsi), melainkan juga dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tingkat desa dan kebijakan public lainnya baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi bahkan hingga sampai pada tingkiat nasioinal. Yang terlibat dalam proses pengambilan kebijakan adalah para elite saja, sementara masyarakat kebanyakan dianggap sebagai pihak yang tak perlu diikutsertakan dalam segala proses itu. Alasannya sederhana, yakni (1) masyarakat banyak itu sudah diwakilkan oleh para elitenya – karena memang secara budaya para elite itu memperoleh pengakuan, dan (2) masyarakat banyak dianggap tak memiliki pengetahuan dan  ketrampilan yang cukup untuk itu. Akibatnya kemudian, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah desa, apalagi pemerintahan level di atasnya, hampir semuanya bias kepentingan para elite yang terlibat di dalamnya, masih terlalu jauh dari kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi target atau orientasi utamanya. Maka tidak heran kalau produk-produk kebijakan pembangunan hanya lebih menguntungkan para elite yang memiliki kedekatan dengan, atau merupakan bagian dari jaringan budaya, politik, ekonomi dan keluarga dari pengambil kebijakan. Kesenjangan sosial ekonomi pun, kemudian, menjadi tak terelakkan, sebagai konsekwensi logis dari kepemimpinan dan watak pengambilan kebijakan di pemerintahan mulai dari desa hingga ke level pemerintahan di atasnya. Pendekatan partisipatif, tampaknya menjadi bagian dari tawaran alternatif untuk mengesankan  bahwa proses pengambilan kebijakan di tingkat desa telah melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Pada era Orde baru, dimulai sejak awal tahun 1980-an, dibentuk LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) sebagai perangkat pemerintahan desa utamanya yang mengkonsentrasikan untuk musyawarah perencanaan pembangunan desa, yang selanjutnya dikoordinasikan pada tiungkat kecamatan dan kabupaten. Tapi pendekatan partisipatif pada saat itu, dan kecenderungan terus berlangsung hingga sekarang ini, hanyalah sebuah formalitas untuk memunculkan kesan adanya keterlibatan masyarakat luas dalam perencanaan pembangunan. Karena pada kenyataannya, lagi-lagi, yang terlibat hanyalah para elite desa dengan pola pengerahan (mobilisasi). Pada saat itu juga, kepala desa sekaligus menjadi ketua LKMD, sementara kepala desa sendiri adalah merupakan instrument kekuasaan dari pemerintah di atasnya (yang sat itu tunduk di bawah Golkar). Memang upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dan demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan desa semakin dikuatkan dengan keluarnya UU No. 22/1999. Masyarakat tidak hanya memilih kepala desa secara langsung, melainkan juga menampatkan wakil-wakilnya duduk dalam BPD. Kelembagaan seperti pula ada dalam UU No. 32/2004 dengan perubahan nama menjadi Badan Permusyawaratan Desa (juga disingkiat BPD). Tetapi pada kenyataannya juga keberadaan lembaga-lembaga yang sekaligus merupakan perangkat dalam pemerintahan desa ini tidak serta merta mengembalikan kewenangan desa dalam memutuskan dan mengelola apa yang menjadi hak-haknya. Tepatnya, kendati kelembagaan sudah berubah, namun subtansinya masih tetap seperti itu, yakni hanya sebagai instrument yang tak bisa secara substansi memperjuangkan apa yang menjadi hak-hak desa alias belum bisa menjadikan pemerintahan desa lebih memiliki kewenangan.Kembali pada isu pembaruan pemerintahan desa. Agaknya memang sulit mencari arah yang jelas di tengah ketiadaan upaya untuk melakukan semacam dekonstruksi terhadap realita pemerintahan desa yang ada sekarang ini. Pada saat yang sama, seperti sudah digambarkan di atas, berbagai kebijakan pemerintah telah berupaya secara sistematis dan terus menerus menghabisi akar-akar budaya lokal dalam pengelolaan pemerintahan desa, termasuk di dalamnya dengan terus menerus melakukan pemekaran desa sehingga benar-benar watak asli dan budaya masyarakat lokal itu sudah (akan) kian sirnah. Kebijakan terakhir ini (pemekaran desa) tampak memperoleh sambutan dari para elite masyarakat lokal, karena ingin bagi-bagi kekuasaan di level pemerintahan yang terendah sekalipun, tanpa sadar bahwa para elite lokal itu tengah dijebak untuk menghilangkan budaya aslinya. Di tengah ketidak pastian arah seperti itu, kenapa masih banyak pihak yang “enggan” memperjuangkan desa, mengapa setiap orang selalu menjadikan desa sebagai obyek ketika ia berbicara tentang kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan. Mengapa manusia Indonesia cenderung hanya berpikir “tentang bahaya globalisasi” namun tidak melakukan upaya mensiasati arus globalisasi tersebut dengan pemberdayaan dan penguatan kapasitas pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan budaya di desa? seharusnya itu bukanya hanya tugas pemerintah, sebab jika persolan itu tetap kita serahkan pada pemerintah maka keniscayaan akan eksploitasi dan penindasan terus dilakukan. Sudah waktunya semua pihak, baik itu civitas akademika, praktisi, politisi, aktivis dan NGO, untuk bersama-sama memikirkan serta melakukan upaya “proses pembaruan” tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar